Kamis, 09 April 2015

Konsep Pengethauan dan Kebudayaan Dalam Persepektif Islam

”KONSEP ILMU PENGETAHUAN DAN KEBUDAYAAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM” Oleh : Muhammad Ali Abstraksi Ilmu pengetahuan adalah kebutuhan mutlak manusia sebagai bekal yang diperlukan untuk memepertahankan dan meningkatkan derajat kemanusiaan. Dengan memperhatikan motivasi Al-Qur’an untuk menuntut ilmu, cara cara mendapatkan ilmu dalam Islam, dan Al-Qur’an sebagai sumber ilmu pengetahuan, maka lembaga pendidikan Islam harus selalu menggali ilmu pengetahuan yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Pendidikan dengan pendekatan kebudayaan mengharuskan adanya pendidikan yang multikultural, yaitu pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespons perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. A.PENDAHULUAN Ilmu pengetahuan adalah kebutuhan mutlak manusia sebagai bekal yang diperlukan untuk memepertahankan dan meningkatkan derajat kemanusiaan. Manusia membutuhkan ilmu pengetahuan untuk menjangkau kehidupan duniawi dan ukhrawinya untuk mendapatkan kebahagiyaan dunia dan akherat. Posisi ilmu dalam Islam sangat sentral, vitalitas serta keutamaan ilmu terungkap dalam sanjungan dan kehormatan yang diberikan kepada para ilmuan, tersirat dalam wahyu pertama yang diterima Rasulullah SAW, yang berupa kunci ilmu, yakni : membaca. Dengan memperhatikan motivasi Al-Qur’an untuk menuntut ilmu, cara cara mendapatkan ilmu dalam Islam, dan Al-Qur’an sebagai sumber ilmu pengetahuan, maka lembaga pendidikan Islam harus selalu menggali ilmu pengetahuan yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an tidak ubahnya seperti suatu samudera ilmu pengetahuan, semakin dalam manusia mengarunginya semakin banyak ilmu pengetahuan yang diperolehnya, didalam pengembangan ilmu lembaga pendidikan Islam harus menggali ilmu pengetahuan baik dari sumber ayat qur’aniyah dan ayat kauniyah. Pendidikan dengan pendekatan kebudayaan mengharuskan adanya pendidikan yang multikultural, yaitu pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespons perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Selain itu pendidikan multikultural dipersepsikan sebagai suatu jembatan untuk mencapai kehidupan bersama dari umat manusia di dalam era globalisasi yang penuh dengan tantangan-tantangan baru. Pendidikan multikultural yang mempunyai wajah baru, yaitu penghargaan akan kebudayaan dari masing-masing kelompok etnis. B. PEMBAHASAN 1.Pengertian Ilmu Pengetahuan Kata Ilmu berasal dari bahasa Arab, A’lama yang berarti pengetahuan. Kata ini sering disejajarkan dengan kata science dalam bahasa Inggris. Kata science itu sendiri memang bukan asli inggris, tetapi ia merupakan serapan dari bahasa Latin, scio, scire yang arti dasarnya pengetahuan. Ada juga yang menyebutkan bahwa science berasal dari bahasa Latin scire dan scientia yang berarti pengetahuan dan aktivitas mengetahui. Pengetahuan ( B. Indonesia) semakna dengan kata knowledge ( B. Inggris). Kata ini sering diartikan sebagai sejumlah informasi yang diperoleh manusia melalui pengamatan, pengalaman ( Empiri) dan penalaran ( rasio). Pengetahuan berbeda dengan ilmu atau Science( B. Inggris) terutama dalam pemakainya. Ilmu lebih menitik beratkan pada aspek teoritis dari sejumlah pengetahuan yang diperoleh dan dimiliki manusia, sedangkan pengetahuan tidak mensyaratkan adanya teoretisasi dan pengujian. Oleh karena itu kebenaran ilmu dapat digeneralisasi, karena ia diperoleh melalui sejumlah penelitian dan pembuktian, sedangkan pengetahuan belum dapat digunakan untuk proses generalisasi karena tidak menuntut penelitian dan pengkajian lanjutan. Setiap jenis pengetahuan, pada prinsipnya selalu berguna untuk memberikan jawaban terhadab berbagai pertanyaan yang muncul dari diri seseorang. Pengetahuan selalu memberi rasa puas dengan menangkap tanpa ragu terhadap sesuatu. Pengertian pengetahuan seperti itu membedakanya dengan ilmu yang selalu menghendaki penjelasan lebih lanjut dari apa yang dituntut oleh pengetahuan. Al– Ghozali mengartikan pengetahuan sebagai hasil aktifitas mengetahui, yakni : tersingkapnya suatu kenyataan kedalam jiwa sehingga tidak ada keraguan terhadapnya. Menurut Al-Ghozali, jiwa yang tidak ragu terhadap yang diketahui menjadi syarat mutlak untuk diterimanya pengetahuan. Hakikat ilmu bersifat koherensi sistemik. Artinya, ilmu harus terbuka kepada siapa saja yang mencarinya. 2. Cara Memperoleh Pengetahuan Dalam filsafat ilmu cara mendapatkan ilmu dinamakan epistimologi, dalam epistimologi Islam, pengetahuan dapat diperoleh dua cara yaitu Pertama melalui usaha manusia, kedua yang diberikan oleh Allah SWT. Pengetahuan yang diperoleh melalui usaha manusia ada 4 jenisnya, yaitu: 1. Pengetahuan empiris yang diperoleh melalui indera 2. Pengetahuan sains yang diperoleh melalui indra dan akal 3. Pengetahuan filsafat yang diperoleh melalui akal 4. Pengetahuan intuisi yang diperoleh melalui qalb(hati) Sedangkan pengetahuan yang diberikan oleh Allah SWT berupa: 1. Wahyu yang disampaikan kepada para rasul 2. Ilham yang diterima oleh akal manusia 3. Hidayah yang diterima oleh qalb manusia. Melalui cara tersebut di atas, berkembanglah ilmu keislaman dari masa ke masa. Al-Qur’an sebagai kumpulan wahyu Allah merupakan sumber pengetahuan Islam yang dapat digali sepanjang masa, ditambah lagi dengan hadis-hadis Rasullah SWT, di dalamnya terdapat prinsip-prinsip dasar berbagai cabang ilmu pengetahuan. Allah berfirman :     •             Artinya : Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, pengelihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (QS.An Nahl:78). Dari ayat diatas, dapat dipahami cara memperoleh pengetahuan dapat dilakukan malalui pendengaran, pengelihatan dan melalui akal. Dengan mempergunakan potensi yang diberikan Allah tersebut manusia dapat menemukan, mendapatkan dan memahami berbagai ilmu pengetahuan. 3. Sumber dan Fungsi Pengetahuan Sumber utama dari ilmu pengetahuan dalam Islam adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kebenaran yang langsung disampaikan Tuhan kepada salah seorang hamba-Nya, yang dipilih-Nya, kemudian disebut Rasul atau Nabi. Al-Qur’an, di samping mengandung petunjuk-petunjuk dan tuntunan-tuntunan yang bersifat ubudiyah dan akhlaqiyah (moral), juga mengandung petunjuk-petunjuk yang dapat dipedomani manusia untuk mengolah dan menyelidiki alam semesta, atau untuk mengerti gejala-gejala dan hakekat hidup yang dihadapinya dari masa ke masa. Sebagai firman Allah SWT:              •            Artinya : Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan. (QS. Al An’aam :38). Ayat di atas, memberikan informasi kepada kita bahwa di dalam Al-Qur’an itu terdapat prinsip-prinsip dasar tentang berbagai aspek kehidupan keduniawian maupun kehidupan keakhiratan. Oleh karena itu, manusia berkewajiban untuk mencari dan menggali dari prinsip-prinsip dasar dalam Al-Qur’an dengan menggunakan kemampuan-kemampuan ijtihad dan daya analisa yang terdapat dalam diri manusia. Dengan demikian Al-Qur’an sebagai Wahyu Allah yang terakhir di dunia ini merupakan sumber yang tidak kering-keringnya untuk pengembangan berbagai bidang kehidupan manusia itu sendiri. Dengan kata lain, Al-Qur’an merupakan ayat Allah beriringan dan berdampingan dengan sunnatullah yang menjadi dasar pergerakan dan perjalanan alam ini. Sehingga antara alam denga Al-Qur’an tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena keduanya saling menafsirkan dan saling memberi petunjuk kepada manusia mengenai jalan yang harus ditempuh untuk mencapai kesejahteraan duniawi dan kesejahteraan ukhrawi. 4. Konsep Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Islam Pemahaman ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam dapat ditelusuri dan dikaji,ternyata Islam sebagai ajaran Allah SWT dan sunah Rasulullah berkembang dalam sejarah bukan hanya sebagai agama, melainkan juga sebagai kebudayaan dan peradaban manusia. Islam pada awalnya memang lahir sebagai agama dimekah. Tetapi kemudian tumbuh dan berkembang di Madinah menjadi Negara, selanjutnya membesar di Damsyik menjadi kekuasaan politik internasional yang luas. Islam mengajarkan tentang kewajiban menuntut ilmu dan mengamalkanya. Bagi umat islam, Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran agama Islam mengandung perintah untuk menuntut ilmu pengetahuan. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Alaq ayat 1-5. Ada beberapa istilah yang dipakai untuk menyebutkan ilmu pengetahuan, seperti istilah ilmu, pengetahuan, al-ilm dan sains. Dalam konteks Islam, sains tidak menghasilkan kebenaran absolut. Istilah yang paling tepat untuk mendefinisikan pengetahuan adalah al-ilm, karena memiliki dua komponen. Pertama, bahwa sumber asli seluruh pengetahuan adalah wahyu atau Al-qur’an yang mengandung kebenaran absolut. Kedua , bahwa metode mempelajari pengetahuan yang sistematis dan koheren semuanya sama-sama valid; semuanya menghasilkan bagian dari satu kebenaran dan realitas bagian yang sangat bermanfaat untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Oleh karena itu, al-‘ilm jauh lebih jujur dibanding sains. al-‘ilm meletakan nilai-nilai di permukaan agar jelas dan menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai aturan main yang harus ditaati. Berbeda dengan al-‘ilm, sains modern barat terlanjur mempercayakan manusia mampu memecahkan segala sesuatu melalui kemampuan berpikirnya. Ternyata, masih banyak yang tidak terpecahkan oleh kerja pikir manusia, meskipun termasuk wilayah pemikiran, apalagi terhadap wilayah yang tidak dapat diteliti, manusia tentu tidak memiliki kesanggupan sama sekali untuk mengungkapkan rahasia-rahasianya. Sedangkan al-‘ilm mengakui keterbatasan-keterbatasan manusia dalam menagkap pengetahuan, sehingga dalam wilayah yang tidak bisa ditangkap manusia ini al-‘ilm menyandarkan pada bantuan wahyu. Allah lah yang menggenggam rahasia rahasia itu kemudian diinformasikan kepada manusia melalui wahyu. Dari sini tampak dengan jelas bahwa al-‘ilm memiliki cakupan yang lebih luas, daripada sains. Konsep al-‘ilm melampui wilayah-wilayah yang biasa dijadikan pemetaan secara sistemik, yaitu suatu konsep ilmu yang tidak hanya tersusun dari segi-segi apa (ontologi) bagaimana (epistomologi) dan utuk apa (aksiologi), tetapi juga dari segi-segi darimana, kenapa dan mau kemana. Konsep ilmu yang demikian ini barulah dapat disebut all-comprehensive, apabila telah melalui pengujian dengan menggunakan tolak ukur dengan sistem nilai: benar-salah, baik buruk, halal-haram, adil-zalim, dan manfaat-madarat. Al-‘ilm memandang, bahwa permasalahan-permasalahan ilmu pengetahuan pada tingkat elementer saja, tidak mungkin tuntas hanya dilihat dari ontologi, epistomologi, dan aksiologi, tetapi juga dari segi sumbernya, alasannya, arahnya dan sebagainya. Maka tidak mengherankan, jika kemudian elemen-elemen itu diuji melalui sistem nilai untuk mengetahui kadar kegunaan bagi peningkatan kesejahteraan manusia lahir dan batin. Di kalangan muslim telah memiliki landasan teologis, bahwa surah al-‘alaq : 1-5 diterima sebagai informasi bahwa Allah Swt. Itulah sumber segala ilmu yang kemudian diajarkan kepada manusia. Islam memandang, bahwa sumber utama ilmu adalah Allah. Selanjutnya, Allah memberi kekuatan-kekuatan kepada manusia. Secara terinci, Islam mengakui, bahwa sumber atau saluran ilmu lebih banyak dari sekedar yang diakui oleh ilmuwan barat. Al-Syaibany mengatakan, bahwa pengalaman langsung, pemerhatian dan pengamatan indera hanya sebagian dari sumber-sumber tersebut. Sumber-sumber ini, meskipun banyak macam dan jenisnya, dapat dikembalikan pada lima sumber pokok yaitu, indera, akal instuisi, ilham dan wahyu ilahi. Indera memang bisa diakui sebagai sumber pengetahuan, walaupun hasilnya paling rendah kualitasnya. Sedangkan unsur-unsur indera yang mendapatkan perhatian Alquran sehubungan dengan kapasitasnya sebagai sumber pengetahuan adalah pendengaran dan penglihatan. Irfan Akhmad Dahlan menyatakan, bahwa menurut anjuran Al-Qur’an sumber-sumber pengetahuan pada dasarnya ada tiga, yaitu sama’ (pendengaran), basar (penglihatan), dan fu’ad (hati). Fu’ad adalah yang terpenting diantara tiga ketiga sumber/kemampuan itu. Adapun sumber atau kemampuan yang keempat adalah wahyu. Pendengaran dan penglihatan mendapatkan perhatian sebagai sumber pengetahuan dari unsur indera barangkali, karena kedua kemampuan itulah yang paling cepat menangkap fakta-fakta dibanding unsur indera lainnya. Apa yang didengar manusia, jika ia sebagai informasi yang baru, maka merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi kepentingan ilmu pengetahuan. Hasil pendengaran ini jika memungkinkan akan ditindaklanjuti melalui kemampuan penglihatan. Di samping itu, penglihatan juga bisa menangkap fakta-fakta secara mandiri, terlepas dari hasil pendengaran ketika penglihatan langsung berhubungan dengan fakta-fakta pengetahuan. Pengetahuan yang dihasilkan indera disebut pengetahuan empirik, sebagaimana disebutkan dimuka, bahwa kualitas kebenaran pengetahuan ini tergolong paling rendah kendati juga masih ada kebenaran yang diperoleh. Bahkan sejumlah orang menyimpulkan, “dalam babak terakhir” ilmu empirik tidak akan mampu memberikan penjelasan tentang apa saja, dan pada akhirnya ia tidak dapat melangkah lebih jauh daripada memberikan sebuah jawaban atas pertanyaan “bagaimana”. Sebab jawaban atas pertanyaan “bagaimana” ini bisa dihasilkan dari pengamatan secara inderawi. Pertanyaan “bagaimana” memiliki dua konotasi pemahaman, yaitu dengan cara apa dan keadaan. Keduanya bisa dijelaskan melalui indera. Sebaliknya, misalnya pada pertanyaan “apa”, itu saja tidak seluruh jawabannya bisa dihasilkan melalui indera. Adakalanya pertanyaan “apa” menuntut jawaban di luar kemampuan indera, khususnya ketika pertanyaan ini bermaksud meminta jawaban tentang hakekat sesuatu. Untuk mengetahui hakekat paling tidak didasarkan akal kemudian dikokohkan wahyu. Keseimbangan tersebut selanjutnya mengakibatkan adanya klasifikasi atau kategorisasi pengetahuan. Dari segi sumber pengetahuan dan alat memperolehnya, pengetahuan dapat dibagi menjadi pengetahuan saintifik, pengetahuan logika, pengetahuan intuisi dan perasaan, pengetahuan ilham dan kasyaf, dan pengetahuan yang diwahyukan. Sedangkan Ibn Butlan menyerdehanakan klarifikasi ilmu menjadi tiga cabang besar saja: ilmu-ilmu (keagamaan) islam, ilmu filsafat dan ilmu-ilmu alam, dan kesusastraan. Hubungan antara ketiga cabang ini digambarkan sebagai segi tiga: sisi sebelah kanan adalah ilmu agama, sisi sebelah kiri ilmu filsafat dan ilmu alam, dan sisi bawah adalah kesustraan. Dua pembagian ilmu pengetahuan ini tampak berbeda. Terlepas dari perbedaan itu, yang jelas keduanya memiliki perhatian dan menegaskan, bahwa memang ada ilmu-ilmu yang yang bersumber dari wahyu tuhan secara langsung. Hanya saja penyerdehanaan Ibn Butlan tersebut menghasilkan dikotomi antara ilmu-ilmu islam dan non islam yang akhir-akhir ini menjadi persoalan serius, karena banyak ditentang oleh pemikir muslim kontemporer. Sebenarnya, pemikir-pemikir islam lainnya juga menaruh perhatian pada klasifikasi ilmu pengetahuan itu, seperti Al-Farabi, Al-Ghazali, maupun Quthb Al-Din Al-Syirazi. Mereka menawarkan klasifikasi yang tidak seragam. Kendati demikian, lagi-lagi mereka sepakat untuk mengakui adanya ilmu yang bersumber dari agama. Demikianlah, sekilas konsep ilmu pengetahuan dalam persepektif islam yang memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan konsep sains dalam pandangan ilmuwan barat. Selanjutnya, konsep ilmu menurut islam ini ketika dihadapkan pada perkembangan dan aplikasi sains modern sekarang ini mendorong ilmuwan muslim cenderung melakukan islamisasi ilmu pengetahuan guna meluruska penyimpangan-penyimpangan sains Barat. 5.Karakteristik Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Islam a. Bersandar Pada Kekuatan Spiritual Dewasa ini, keprihatinan mulai muncul di kalangan pemikir muslim, terhadap watak sains modern Barat dan akibatnya yang ditimbulkannya. Sains ini telah dirasakan membahayakan umat Islam khususnya. Mereka bisa digiring menjadi komunitas yang tidak memiliki kepekaan sosial sama sekali. Mereka selalu diarahkan untuk selalu bersikap individual dan mengunakan parameter-parameter kebendaan dalam mengukur kebahagian seseorang. Sains tersebut mengalami krisis spiritual yang parah. Ilmu pengetahuan Islam senantiasa berupaya untuk menerapkan metode-metode yang berlainan sesuai dengan watak subjek yang dipelajari dan cara-cara memahami subjek tersebut. Para ilmuan muslim dalam mengembangkan beraneka ragam cabang pengetahuan telah menggunakan setiap jalan pengetahuan yang terbuka bagi manusia dari rasionalisasi dan interpretasi. b. Hubungan yang Harmonis antara Wahyu dan Akal Karakter ilmu dalam islam yang kedua adalah didasarkan hubungan yang harmonis antara wahyu dan akal. Keduanya tidak bertentangan karena terdapat titik temu. Oleh karena itu, ilmu dalam islam tidak hanya diformulasikan dan dibangun melalui akal semata, tetapi juga melalui wahyu. Akal berusaha bekerja maksimal untuk menemukan dan mengembangkan ilmu, sedang wahyu datang memberikan bimbingan serta petunjuk yang harus dilalui akal. Maka ilmu dalam islam memiliki sumber yang lengkap apalagi dibandingkan dengan sains barat. Atas dasar pertimbangan inilah, “Pendamaian fisalfat dan agama menjadi harapan dan aspirasi hampir seluruh filosof Muslim”. Rata-rata mereka memiliki konsep konsep yang menggambarkan betapa mesra dan harmonis hubungan antara wahyu dan akal, atau antara agama dengan filsafat (ilmu). Konsep ini memiliki makna yang signifikan terutama untuk mempertegas, bahwa ilmu dalam islam memiliki nilai-nilai trasendental, suatu nilai yang paling tinggi derajatnya. Disamping itu juga dapat mempertegas, bahwa ilmu dalam islam tidak mengenal pertengkaran antara wahyu dengan akal. “ Al-Kindi adalah filosof pertama dalam islam, yang menyelaraskan antara agama dan filsafat. Dia melicinkan jalan bagi Al-Farabi, ibn Sina dan ibn Rusyd.” Usaha penyelaras Al-kindi ini berperan mengembangkan filsafat sinkretis atau sinkritisme yang memiliki keistimewaan karakter dari system yang dimiliki hampir seluruh filosof muslim. Mulai dari Al-Kindi inilal mereka berusaha mengusahakan persesuaian antara agama dan filsafat. Mereka mengajukan bentuk akidah melalui kesesuaian keduanya. Mereka mencoba mengungkapkan aspek-aspek yang dapat dipertemukan diantara keduanya, dengan tetap mengakui adanya perbedaan-perbedaan pada aspek tertentu lainnya, sebab pasti ada perbedaan-perbedaan tertentu di antara keduanya yang tidak bisa diingkari. Usaha penyelarasan agama dan filsafat yang dirintis Al-Kindi tersebut tidaklah sia-sia, karena diteruskan oleh filosof muslim berikutnya, seperti Ibn Rusyd. Melalui penafsiran secara rasional, dia mewarnai keselarasan antara agama dan filsafat. Tradisi pemikiran yang senantiasa menyelaraskan agama dengan filsafat (ilmu) atau wahyu dengan akal ini terus berlanjut hingga perkembangan yang terjadi paling akhir sekarang ini di kalangan para filosof maupun ilmuwan Muslim. Berdasarkan pengamatan mereka terhadap fungsi wahyu dan akal, maka mereka menyakini sepenuhnya, bahwa ada titik pertemuan antara keduanya. Keyakinan ini tidak tergoyahkan sedikit pun mengingat telah jelas fungsi dan peranan masing-masing yang manfaatnya dapat dirasakan bersama. Akal dapat menemukan kebenaran, apalagi wahyu justru memberikan kebenaran itu tanpa upaya penelusuran. Sayang sekali Ibn Rusyd gagal menanamkan pengaruhnya tentang keselarasan antara wahyu dan akal di barat. Dalam kenyataannya, para ilmuwan mengingkari pasangan ilmu dan agama. Mereka mengambil pesan agama dengan bahasa ilmu. Mereka hidup dalam keterpecahan sepanjang waktu. Mereka memisahkan bidang agama dan bidang ilmu, padahal bidang itu pada dasarnya menyeluruh. Maka ada sebagian para ilmuwan mengadakan perlawanan antara akal dan agama, kemudian mereka menciptakan perlawanan antara akal dan perolehan untuk menjauhkan pengelihatan menyeluruh dan hanya berkutat pada bagian-bagian. Mereka kurang menyadari, bahwa sesungguhnya ilmu tanpa didampingi agama akan mmenyimpang dari akidah yang benar atau kebablasan, seperti kecondongan “mendewakan” akal, sedangkan agama tanpa didampingi ilmu akan dirasakan sebagai doktrin-doktrin semata yang membelenggu penalaran dan pemikiran seseorang, karena tidak ada penjelasan-penjelasan yang memadai dari agama, yang ada hanya ketentuan-ketentuan normatif. Oleh karena itu, menurut M. Arifin, “ dalam islam tidak dikenal adanya ilmu pengetahuan religius dan non religius( sekuler).” Semua ilmu pada hakekatnya berasal dari Allah, sehingga tidak terdapat dikotomi antara yang religius dan sekuler. Prinsip ini menjadi karakter ilmu pengetahuan dalam islam. c. Interpendensi Akal dengan Intuisi. Dalam tradisi pemikiran Islam, ilmu pengetahuan dibangun adakalanya atas kerjasama pendekatan akal dan intuisi. Akal memiliki keterbatasan-keterbatasan penalaran yang kemudian disempurnakan oleh intuisi yang sifatnya pemberian dari intuisi masih belum tersusun rapi, sehingga dibutuhkan bantuan nalar untuk mensistematisasikan pengetahuan-pengetahuan yang bersifat pemberian itu. Dengan pengertian lain, akal membutuhkan intuisi, dan begitu pula sebaliknya, intuisi membutuhkan akal. Keduanya saling membutuhkan bantuan dari pihak lainnya untuk menyempurnakan pengetahuan yang dicapai masing-masing. Dalam proses pemahaman kebenaran, akal dan intuisi harus saling menunjang satu sama lain. Pemberian prioritas pada salah satunya, akan menyesatkan. Untuk domain Yang Maha Gaib, tanpa dukungan iman, penalaran manusia tidak punya akses sama sekali. Selanjutnya, bahkan pascal melihat dengan jelas, bahwa perkembangan rasional tidak pernah akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang paling esensial. Bukan lantaran pikiranya, melainkan berkat rahmat Tuhanlah, paradoks-paradoks eksistensi manusia bias teratasi. d. Memiliki Orientasi Teosentris Bertolak dari suatu pandangan, bahwa ilmu berasal dari Allah dan ini merupakan satu perbedaan mendasar antara ilmu dan sains, maka implikasinya berbeda sama sekali dengan sains, ilmu dalam islam memiliki perhatian yang sangat besar kepada Allah. Artinya ilmu tersebut mengemban nilai nilai ketuhanan, sebagai ilmu yang memberikan kesejahteraan dan kedamaian bagi semua makhluk. Sebaliknya ilmu tersebut tidak boleh menyimpang dari ajaran-ajaran Allah. Jika Sains Barat tidak memiliki kepedulian kepada Tuhan maka ilmu dalam Islam selalu dioroentasikan kepada Allah untuk mencapai kebahagian Hakiki. Identitas keagamaan yang melekat pada Ilmuan islam dalam mekanisme kerjanya tidak sekedar sebagai sesuatu yang berada diluar sama sekali. Identitas keagamaan itu dalam realitasnya turut serta mempengaruhi rangkain proses pola-pola berfikirnya dalam upaya mendapatkan pengetahuan. Di sini iman memainkan peranan yang penting sekali. e. Terikat nilai Etika tidak diperhatika dalam tradisi keilmuan Barat, sehingga Barat mampu mencapai sains dan teknologi, namun kemajuan tersebut sesungguhnya semu dan mengalami kepincangan mengingat dalam waktu yang bersamaan menimbulkan dekadensi moral yang sangat parah. Berbeda dengan tradisi Barat tersebut, tradisi keilmuan Islam sejak dini memiliki perhatian besar pada etika. Pada prinsipnya etika diyakini memiliki peranan yang sangat besar dalam menuntun perkembangan pengetahuan dan respons masyarakat, sehingga pertimbangan pertimbangan aksiologis selalu ditempatkan menyertai pertimbangan-pertimbangan epistomologis, disamping mampu mencapai kemajuan juga mampu mempertahankan keutuhan moralitas yang positif. A. Rashid Moten menegaskan, “ Dalam Islam ilmu harus didasarkan nilai dan harus memiliki fungsi dan tujuan. Dengan kata lain, pengetahuan bukan untuk kepentingan sendiri, tetapi menyajikan jalan keselamatan, dan agaknya tidak seluruh pengetahuan melayani tujuan ini. 6. Implikasi Ilmu Pengetahuan Terhadap Pendidikan Dengan memperhatikan motivasi Al-Qur’an untuk menuntut ilmu, cara cara mendapatkan ilmu dalam islam, dan Al-Qur’an sebagai sumber ilmu pengetahuan, maka lembaga pendidikan Islam harus selalu menggali ilmu pengetahuan yang terdapat di dalam Al-Quran. Al-quran tidak ubahnya seperti suatu samudera ilmu pengetahuan, makin sanggup manusia mengarunginya semakin banyak hasil yang yeng diperolehnya. Di dalam pengembangan ilmu lembaga pendidikan islam harus menggali ilmu pengetahuan dari sumbernya berupa ayat Quraniyah dan ayat kauniyah. Lembaga pendidikan Islam harus selalu menanamkan terhadap peserta didiknya, bahwa usaha untuk mempelajari, menggali dan mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya itu dalam rangka pengabdian kepada Allah SWT sebagai Khaliq ilmu pengetahuan, Karena semua ilmu tersebut bersumber dari Allah SWT, maka dimana ilmu yang berguna untuk kehidupan di dunia dan di akhirat wajib dipelajari, dan merupakan kurikulum pada lembaga pendidikan Islam. Oleh karena dilembaga pendidikan Islam tidak terdapat dikotomi ilmu agama dan ilmu umum, karena semua ilmu itu adalah ilmu keislaman. 7.Kebudayaan Dalam Perspektif Pendidikan Islam 1. Pengertian dan tujuan kebudayaan Kata kebudayaan berasal dari kata Sansekerta, budhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Demikianlah kebudayaan itu dapat diartikan ” hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Ada sarjana lain yang mengupas kata budaya itu sebagai perkembangan dari kata budi daya yang berarti daya dari budi. Karena itu mereka membedakan budaya dari kebudayaan. Budaya itu daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa itu. Dalam kata antropologi budaya, tidak diadakan perbedaan arti antara budaya dan kebudayaan. Di sini kata budaya hanya dipakai untuk singkatannya saja, untuk menyingkat kata panjang antropologi kebudayaan. A. L. Kroeber dan cyde Kluckhohn, dalam bukunya Cultural : dalam Cultural : A Critical Reveiew of and Definition, telah mengumpulkan kurang lebih 161 definisi tentang kebudayaan. Pada garis besarnya, definisi kebudayaan, dengan jumlah tersebut, terbagi dalam berbagai kelompok yang meninjau kebudayaan dari berbagai sudut pandang. Pertama, kelompok yang menggunakan pendekatan yang deskriptif yang menekankan pada sejumlah isi yang terkandung di dalamnya. Ke dalam definisi ini termasuk definisi kebudayaann yang dikemukakan oleh Taylor. Menurutnya, kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang mencakup ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diterima manusia sebagai anggota masyarakat. Kedua, kelompok yang menggunakan pendekatan historis yang menekankan pada warisan sosial dan tradisi. Kedalam kelompok yang ke dua ini, definisi kebudayaan yang dikemukakan Park dan Burgess yang mengatakan, bahwa kebudayaan sesuatu masyarakat adalah sejumlah total dan organisasi dari warisan sosial yang diterima sebagai sesuatu yang bermakna yang dipengaruhi oleh watak dan sejarah hidup suatu bangsa. Ketiga, kelompok yang menggunakan pendekatan normatif yang antara lain menekankan pada aspek peraturan, cara hidup, ide atau nilai-nilai dan perilaku. Termasuk ke dalam kelompok ketiga ini adalah definisi kebudayaan dari Linton yang menegaskan, bahwa kebudayaan suatu masyarakat adalah suatu pandangan hidup dari sekumpulan ide-ide dan kebiasaan kebiasaan yang mereka pelajari dan miliki kemudian diwariskan dari satu generasi ke generasi lain. Keempat, kelompok yang menggunakan pendekatan psikIogi, yang antara lain menekankan pada aspek penyesuaian diri (adjustment) dan proses belajar. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah definisi kebudayaan yang dibuat oleh Kluckhohn yang menegaskan, bahwa kebudayaan terdiri dari semua kelangsungan proses belajar suatu masyarakat. Kelima, kelompok yang menggunakan pendekatan struktural dengan menekankan pada aspek pola dan organisasi kebudayaan. Termasuk dalam kelompok ini adalah definisi kebudayaan dari Turney yang mengatakan bahwa kebudayaan adalah pekerjaan dan kesatuan aktivitas sadar manusia yang berfungsi membentu pola umum dan melangsungkan penemuan-penemuan baik yang material maupun non material. Keenam, kelompok yang menggunakan pendekatan genetik yang memandang kebudayaan sebagai suatu produk, alat-alat, benda-benda ataupun ide dan simbol. Termasuk ke dalam kelomokok ini definisi yang dibuat oleh Bidney yang mengatakan,bahwa kebudayaan dapat dimengerti sebagai proses dinamis dan produk dari pengelolaan diri manusia dan lingkungannya untuk pencapaian tujuan akhir individu dan masyarakat. Adanya definisi kebudayaan sebagaimana tersebut di atas, diduga karena beberapa alasan sebagai berikut. Pertama, kebudayaan dapat dilihat dari semua sisi dan aspek. Kebudayaan dapat dilihat dari segi agama, sosial, poiitik, hukum, teologi,filsafat, dan lain sebagainya. Dengan demikian, semua para ahli dapat melihatnya sesuai dengan bidang keahliannya. Kedua, kebudayaan terkait erat dengan kehidupan manusia, karena budayaan pada hakikatnya merupakan refleksi kegiatan manusia yang diteorisasikan atau dikonsepsikan. Ketiga, kebudayaan dapat dilihat sebagai sebuah objek yang menarik,karena setiap orang dapat menafsirkannya sesuai dengan cara pandangnya masing-masing. Berkenaan dengan berbagai definisi kebudayaan tersebut, Musa Asy'ari berpendapat bahwa kebudayaan adalah suatu soal yang sangat luas. Akan tetapi, jika diamati secara saksama, ternyata kebudayaan adalah pokok soal yang melekat pada manusia. Secara ontologis, kebudayaan itu ada karena adanya manusia. Kebudayaan berpusat pada pikiran dan hati manusia. Kebudayaan dapat pula disebut sebagai aktivitas pemikiran. Kebudayaan sebagai sebuah tata nilai, aturan, norma, hukum, pola pikir, dan sebagainya itu adalah merupakan sebuah konsep yang dihasilkan melalui proses akumulasi, transformasi dan pergumulan dari berbagai nilai yang bergumul menjadi satu dan membentuk sebuah kebudayaan. Nilai-nilai yang tergabung dalam kebudayaan tersebut berasal dari sumbangan yang diberikan oleh agama, adat-istiadat, tradisi, dan norma-norma yang terdapat dalam masyarakat. Di antara nilai-nilai yang berkontribusi tersebut yang paling besar sumbangannya adalah nilai agama. Hal ini terjadi, karena agama telah menyatu dalam sistem keyakinan manusia yang selanjutnya dimanifestasikan dalam tata nilai. Selain itu, agama juga memiliki nilai yang amat kuat karena berasal dari keyakinan terhadap Tuhan, dan ajaran-Nya sebagaimana terdapat dalam kitab suci yang diturunkan-Nya. Namun demikian, terdapat perbedaan yang esensial antara kebudayaan dan kitab suci. Kebudayaan berasal dari manusia, sedangkan kitab suci berasal dari Tuhan. Kitab suci bukanlah kebudayaan, tetapi pemahaman atas kitab suci itulah yang disebut kebudayaan. Namun demikian, kebudayaan yang dipengaruhi oleh ajaran kitab suci tidak sama dengan kebudayaan sekuler yang sepenuhnya berdasar pada hasil pemikiran manusia. Kebudayaan yang dipengaruhi kitab suci akan sejalan dengan ajaran agama, dan karenanya saling terkait. Kehidupan manusia, dalam suatu masyarakat, tidak dapat lepas dari pengaruh kebudayaan yang mengitarinya. Pola pikir, ucapan, perbuatan, dan berbagai keputusan yang diambil oleh manusia senantiasa dipengaruhi oleh pandangan budayanya. C. SIMPULAN 1. Dalam epistimologi Islam, pengetahui diperoleh dua cara yaitu Pertama melalui usaha manusia, kedua yang diberikan oleh Allah SWT. 2. Sumber utama dari ilmu pengetahuan dalam Islam adalah Al-Qur’an. Al Hadis. 3. Pendidikan dengan pendekatan kebudayaan adalah konsep dan praktik pendidikan yang menjadikan kebudayaan selain sebagai bahan yang diajarkan, juga sebagai faktor yang digunakan dalam merancang dan melaksanakan konsep pendidikan. 4. Pendidikan dengan pendekatan kebudayaan dapat diimplementasikan dalam visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, pengelolaan, atmosfir akademik, dan pendidikan multikultural. 5. Pendidikan dengan pendekatan kebudayaan amat sejalan dengan masyarakat Indonesia yang pluralistik baik dari segi agama, budaya, bahasa, etnis, stratifikasi sosial, ekonomi, dan lain sebagainya. REFERENSI Abd Al-Maqshud ’ Abd Al Maqshud, Al-Taufiq baina Al-Din wa Falsafah ‘inda falasifat Al- Islam fi Andalus, Al-Qahirah : Maktabah Al-Zahra Ahmad Fuad El-Ehwani, “ Al-Kindi” dalam M.M. Syarif (ed.), Para Filosof Muslim, Terj., Bandung : Mizan, 1998 Depag RI, Al-Quran Terjemah Per-Kata, Bandung: SYGMA, 2007 Fauzie Nurdin, Integralisme Islam dan Budaya Lokal, Yogyakarta : Gama Media, 2010 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1973 Ibnu Rusdy, Fasl al- Maqal fima Baina Al- Hikmah wa Al- Syariah min Al-Ittisal, Miyunik, 1859 Koentjaraningrat, dalam Pengantar Antropologi ,Aksara Baru ; Jakarta cet. V, 1982 Muzamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik., (Jakarta : Erlangga, 2008. Mustafa Mahmud, Al-Islam…Ma Huwa….Al-Qahirah: Dar Al Ma’arif, t,t M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan ( Islam dan Umum), Jakarta : Bumi Aksara,1991 Rama yulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia,1999 Rohiman Notowidago, Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-Quran dan Hadits, 1995. Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam : Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesi.Jakarta : Kencana,2007 Ziauddin Sardar, Dimensi Ilmiah Al- Ilm, dalam Ziaudin Sardar (ed), Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim, Terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudyartanto,Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000 Depag RI, Al-Quran Terjemah Per-Kata, Bandung: SYGMA, 2007 Nizar, Samsul. dkk. Filsafat pendidika Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 1999. Nurdin, Fauzie. Integralisme Islam dan Budaya Lokal, Yogyakarta : Gama Media, 2010. Qomar, Muzamil. Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik., Jakarta : Erlangga, 2008. Ziaudin, Sardar. Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim, Terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudyartanto, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000. Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1973. Nizar, Samsul. Sejarah Pendidikan Islam : Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesi. Jakarta : Kencana. 2007. Asy'arie, Musa. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam AI Qur'an,Yogyakarta:Lembaga Studi Filsafat lslam, 1992. Notowidago, Rohiman . Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-Quran dan Hadits Arifin, M. Kapita Selekta Pendidikan ( Islam dan Umum), Jakarta : Bumi Aksara,1991.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More