Kamis, 09 April 2015

Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Persepektif Pendidikan Islam

KONSEP ILMU PENGETAHUAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM Muhammad Ali Abstract Science is a necessary of human that need to endure and increase prestige of human. Concerning Al-Quran motivation is looking for science, the method to get a science in Islam and Al-Qur’an is one of source science, so institute of Islam education should get science in the Al-Qur’an. Close with education at a culture should get education multicultural, it is about the kinds of cultural of education in response for changing demographics and society culture or changing all in the world. Key Word : concept of knowledge, Islamic education. Pendahuluan Ilmu pengetahuan adalah kebutuhan mutlak manusia sebagai bekal yang diperlukan untuk memepertahankan dan meningkatkan derajat kemanusiaan. Manusia membutuhkan ilmu pengetahuan untuk menjangkau kehidupan duniawi dan ukhrawinya untuk mendapatkan kebahagiyaan dunia dan akherat. Posisi ilmu dalam Islam sangat sentral, vitalitas serta keutamaan ilmu terungkap dalam sanjungan dan kehormatan yang diberikan kepada para ilmuan, tersirat dalam wahyu pertama yang diterima Rasulullah SAW, yang berupa kunci ilmu, yakni : membaca. Dengan memperhatikan motivasi Al-Qur’an untuk menuntut ilmu, cara-cara mendapatkan ilmu dalam Islam, dan Al-Qur’an sebagai sumber ilmu pengetahuan, maka lembaga pendidikan Islam harus selalu menggali ilmu pengetahuan yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an tidak ubahnya seperti suatu samudera ilmu pengetahuan, semakin dalam manusia mengarunginya semakin banyak ilmu pengetahuan yang diperolehnya, dengan demikian lembaga pendidikan Islam harus menggali ilmu pengetahuan baik dari sumber ayat qur’aniyah dan ayat kauniyah. Pembahasan 1.Pengertian Ilmu Pengetahuan Kata Ilmu berasal dari bahasa Arab, A’lama yang berarti pengetahuan. Kata ini sering disejajarkan dengan kata science dalam bahasa Inggris. Kata science itu sendiri memang bukan asli inggris, tetapi ia merupakan serapan dari bahasa Latin, scio, scire yang arti dasarnya pengetahuan. Ada juga yang menyebutkan bahwa science berasal dari bahasa Latin scire dan scientia yang berarti pengetahuan dan aktivitas mengetahui. Al– Ghozali mengartikan pengetahuan sebagai hasil aktifitas mengetahui, yakni : tersingkapnya suatu kenyataan kedalam jiwa sehingga tidak ada keraguan terhadapnya. Menurut Al-Ghozali, jiwa yang tidak ragu terhadap yang diketahui menjadi syarat mutlak untuk diterimanya pengetahuan. Hakikat ilmu bersifat koherensi sistemik. Artinya, ilmu harus terbuka kepada siapa saja yang mencarinya. 2. Cara Memperoleh Pengetahuan Dalam filsafat ilmu cara mendapatkan ilmu dinamakan epistimologi, dalam epistimologi Islam, pengetahuan dapat diperoleh dua cara yaitu Pertama melalui usaha manusia, kedua yang diberikan oleh Allah SWT. Pengetahuan yang diperoleh melalui usaha manusia ada 4 jenisnya, yaitu: 1. Pengetahuan empiris yang diperoleh melalui indera 2. Pengetahuan sains yang diperoleh melalui indra dan akal 3. Pengetahuan filsafat yang diperoleh melalui akal 4. Pengetahuan intuisi yang diperoleh melalui qalb(hati) Sedangkan pengetahuan yang diberikan oleh Allah SWT berupa: 1. Wahyu yang disampaikan kepada para rasul 2. Ilham yang diterima oleh akal manusia 3. Hidayah yang diterima oleh qalb manusia. Melalui cara tersebut di atas, berkembanglah ilmu keislaman dari masa ke masa. Al-Qur’an sebagai kumpulan wahyu Allah merupakan sumber pengetahuan Islam yang dapat digali sepanjang masa, ditambah lagi dengan hadis-hadis Rasullah SWT, di dalamnya terdapat prinsip-prinsip dasar berbagai cabang ilmu pengetahuan. Allah berfirman :     •             Artinya : Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, pengelihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (QS.An Nahl:78). Dari ayat diatas, dapat dipahami cara memperoleh pengetahuan dapat dilakukan malalui pendengaran, pengelihatan dan melalui akal. Dengan mempergunakan potensi yang diberikan Allah tersebut manusia dapat menemukan, mendapatkan dan memahami berbagai ilmu pengetahuan. 3. Konsep Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Islam Pemahaman ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam dapat ditelusuri dan dikaji,ternyata Islam sebagai ajaran Allah SWT dan sunah Rasulullah berkembang dalam sejarah bukan hanya sebagai agama, melainkan juga sebagai kebudayaan dan peradaban manusia. Islam pada awalnya memang lahir sebagai agama dimekah. Tetapi kemudian tumbuh dan berkembang di Madinah menjadi Negara, selanjutnya membesar di Damsyik menjadi kekuasaan politik internasional yang luas. Islam mengajarkan tentang kewajiban menuntut ilmu dan mengamalkanya. Bagi umat islam, Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran agama Islam mengandung perintah untuk menuntut ilmu pengetahuan. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Alaq ayat 1-5. Ada beberapa istilah yang dipakai untuk menyebutkan ilmu pengetahuan, seperti istilah ilmu, pengetahuan, al-ilm dan sains. Dalam konteks Islam, sains tidak menghasilkan kebenaran absolut. Istilah yang paling tepat untuk mendefinisikan pengetahuan adalah al-ilm, karena memiliki dua komponen. Pertama, bahwa sumber asli seluruh pengetahuan adalah wahyu atau Al-qur’an yang mengandung kebenaran absolut. Kedua , bahwa metode mempelajari pengetahuan yang sistematis dan koheren semuanya sama-sama valid; semuanya menghasilkan bagian dari satu kebenaran dan realitas bagian yang sangat bermanfaat untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Oleh karena itu, al-‘ilm jauh lebih jujur dibanding sains. al-‘ilm meletakan nilai-nilai di permukaan agar jelas dan menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai aturan main yang harus ditaati. Berbeda dengan al-‘ilm, sains modern barat terlanjur mempercayakan manusia mampu memecahkan segala sesuatu melalui kemampuan berpikirnya. Ternyata, masih banyak yang tidak terpecahkan oleh kerja pikir manusia, meskipun termasuk wilayah pemikiran, apalagi terhadap wilayah yang tidak dapat diteliti, manusia tentu tidak memiliki kesanggupan sama sekali untuk mengungkapkan rahasia-rahasianya. Sedangkan al-‘ilm mengakui keterbatasan-keterbatasan manusia dalam menagkap pengetahuan, sehingga dalam wilayah yang tidak bisa ditangkap manusia ini al-‘ilm menyandarkan pada bantuan wahyu. Allah lah yang menggenggam rahasia rahasia itu kemudian diinformasikan kepada manusia melalui wahyu. Dari sini tampak dengan jelas bahwa al-‘ilm memiliki cakupan yang lebih luas, daripada sains. Konsep al-‘ilm melampui wilayah-wilayah yang biasa dijadikan pemetaan secara sistemik, yaitu suatu konsep ilmu yang tidak hanya tersusun dari segi-segi apa (ontologi) bagaimana (epistomologi) dan utuk apa (aksiologi), tetapi juga dari segi-segi darimana, kenapa dan mau kemana. Konsep ilmu yang demikian ini barulah dapat disebut all-comprehensive, apabila telah melalui pengujian dengan menggunakan tolak ukur dengan sistem nilai: benar-salah, baik buruk, halal-haram, adil-zalim, dan manfaat-madarat. Al-‘ilm memandang, bahwa permasalahan-permasalahan ilmu pengetahuan pada tingkat elementer saja, tidak mungkin tuntas hanya dilihat dari ontologi, epistimologi, dan aksiologi, tetapi juga dari segi sumbernya, alasannya, arahnya dan sebagainya. Maka tidak mengherankan, jika kemudian elemen-elemen itu diuji melalui sistem nilai untuk mengetahui kadar kegunaan bagi peningkatan kesejahteraan manusia lahir dan batin. Di kalangan muslim telah memiliki landasan teologis, bahwa surah al-‘alaq : 1-5 diterima sebagai informasi bahwa Allah Swt. Itulah sumber segala ilmu yang kemudian diajarkan kepada manusia. Islam memandang, bahwa sumber utama ilmu adalah Allah. Selanjutnya, Allah memberi kekuatan-kekuatan kepada manusia. Secara terinci, Islam mengakui, bahwa sumber atau saluran ilmu lebih banyak dari sekedar yang diakui oleh ilmuwan barat. Al-Syaibany mengatakan, bahwa pengalaman langsung, pemerhatian dan pengamatan indera hanya sebagian dari sumber-sumber tersebut. Sumber-sumber ini, meskipun banyak macam dan jenisnya, dapat dikembalikan pada lima sumber pokok yaitu, indera, akal instuisi, ilham dan wahyu ilahi. Indera memang bisa diakui sebagai sumber pengetahuan, walaupun hasilnya paling rendah kualitasnya. Sedangkan unsur-unsur indera yang mendapatkan perhatian Alquran sehubungan dengan kapasitasnya sebagai sumber pengetahuan adalah pendengaran dan penglihatan. Irfan Akhmad Dahlan menyatakan, bahwa menurut anjuran Al-Qur’an sumber-sumber pengetahuan pada dasarnya ada tiga, yaitu sama’ (pendengaran), basar (penglihatan), dan fu’ad (hati). Fu’ad adalah yang terpenting diantara tiga ketiga sumber/kemampuan itu. Adapun sumber atau kemampuan yang keempat adalah wahyu. Pendengaran dan penglihatan mendapatkan perhatian sebagai sumber pengetahuan dari unsur indera barangkali, karena kedua kemampuan itulah yang paling cepat menangkap fakta-fakta dibanding unsur indera lainnya. Apa yang didengar manusia, jika ia sebagai informasi yang baru, maka merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi kepentingan ilmu pengetahuan. Hasil pendengaran ini jika memungkinkan akan ditindaklanjuti melalui kemampuan penglihatan. Di samping itu, penglihatan juga bisa menangkap fakta-fakta secara mandiri, terlepas dari hasil pendengaran ketika penglihatan langsung berhubungan dengan fakta-fakta pengetahuan. 4.Karakteristik Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Islam a. Bersandar Pada Kekuatan Spiritual Dewasa ini, keprihatinan mulai muncul di kalangan pemikir muslim, terhadap watak sains modern Barat dan akibatnya yang ditimbulkannya. Sains ini telah dirasakan membahayakan umat Islam khususnya. Mereka bisa digiring menjadi komunitas yang tidak memiliki kepekaan sosial sama sekali. Mereka selalu diarahkan untuk selalu bersikap individual dan mengunakan parameter-parameter kebendaan dalam mengukur kebahagian seseorang. Sains tersebut mengalami krisis spiritual yang parah. Ilmu pengetahuan Islam senantiasa berupaya untuk menerapkan metode-metode yang berlainan sesuai dengan watak subjek yang dipelajari dan cara-cara memahami subjek tersebut. Para ilmuan muslim dalam mengembangkan beraneka ragam cabang pengetahuan telah menggunakan setiap jalan pengetahuan yang terbuka bagi manusia dari rasionalisasi dan interpretasi. b. Hubungan yang Harmonis antara Wahyu dan Akal Karakter ilmu dalam islam yang kedua adalah didasarkan hubungan yang harmonis antara wahyu dan akal. Keduanya tidak bertentangan karena terdapat titik temu. Oleh karena itu, ilmu dalam islam tidak hanya diformulasikan dan dibangun melalui akal semata, tetapi juga melalui wahyu. Akal berusaha bekerja maksimal untuk menemukan dan mengembangkan ilmu, sedang wahyu datang memberikan bimbingan serta petunjuk yang harus dilalui akal. Maka ilmu dalam islam memiliki sumber yang lengkap apalagi dibandingkan dengan sains barat. “ Al-Kindi adalah filosof pertama dalam islam, yang menyelaraskan antara agama dan filsafat. Dia melicinkan jalan bagi Al-Farabi, ibn Sina dan ibn Rusyd.” Usaha penyelaras Al-kindi ini berperan mengembangkan filsafat sinkretis atau sinkritisme yang memiliki keistimewaan karakter dari system yang dimiliki hampir seluruh filosof muslim. Mulai dari Al-Kindi inilal mereka berusaha mengusahakan persesuaian antara agama dan filsafat. Mereka mengajukan bentuk akidah melalui kesesuaian keduanya. Mereka mencoba mengungkapkan aspek-aspek yang dapat dipertemukan diantara keduanya, dengan tetap mengakui adanya perbedaan-perbedaan pada aspek tertentu lainnya, sebab pasti ada perbedaan-perbedaan tertentu di antara keduanya yang tidak bisa diingkari. Oleh karena itu, menurut M. Arifin, “ dalam islam tidak dikenal adanya ilmu pengetahuan religius dan non religius( sekuler).” Semua ilmu pada hakekatnya berasal dari Allah, sehingga tidak terdapat dikotomi antara yang religius dan sekuler. Prinsip ini menjadi karakter ilmu pengetahuan dalam islam. c. Interpendensi Akal dengan Intuisi. Dalam tradisi pemikiran Islam, ilmu pengetahuan dibangun adakalanya atas kerjasama pendekatan akal dan intuisi. Akal memiliki keterbatasan-keterbatasan penalaran yang kemudian disempurnakan oleh intuisi yang sifatnya pemberian dari intuisi masih belum tersusun rapi, sehingga dibutuhkan bantuan nalar untuk mensistematisasikan pengetahuan-pengetahuan yang bersifat pemberian itu. Dengan pengertian lain, akal membutuhkan intuisi, dan begitu pula sebaliknya, intuisi membutuhkan akal. Keduanya saling membutuhkan bantuan dari pihak lainnya untuk menyempurnakan pengetahuan yang dicapai masing-masing. Dalam proses pemahaman kebenaran, akal dan intuisi harus saling menunjang satu sama lain. Pemberian prioritas pada salah satunya, akan menyesatkan. Untuk domain Yang Maha Gaib, tanpa dukungan iman, penalaran manusia tidak punya akses sama sekali. Selanjutnya, bahkan pascal melihat dengan jelas, bahwa perkembangan rasional tidak pernah akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang paling esensial. Bukan lantaran pikiranya, melainkan berkat rahmat Tuhanlah, paradoks-paradoks eksistensi manusia bias teratasi. d. Memiliki Orientasi Teosentris Bertolak dari suatu pandangan, bahwa ilmu berasal dari Allah dan ini merupakan satu perbedaan mendasar antara ilmu dan sains, maka implikasinya berbeda sama sekali dengan sains, ilmu dalam islam memiliki perhatian yang sangat besar kepada Allah. Artinya ilmu tersebut mengemban nilai-nilai ketuhanan, sebagai ilmu yang memberikan kesejahteraan dan kedamaian bagi semua makhluk. Sebaliknya ilmu tersebut tidak boleh menyimpang dari ajaran-ajaran Allah. Jika Sains Barat tidak memiliki kepedulian kepada Tuhan maka ilmu dalam Islam selalu dioroentasikan kepada Allah untuk mencapai kebahagian Hakiki. Identitas keagamaan dalam realitasnya turut serta mempengaruhi rangkain proses pola-pola berfikirnya dalam upaya mendapatkan pengetahuan, oleh karena itulah iman memainkan peranan yang penting sekali. e. Terikat nilai Etika tidak diperhatikan dalam tradisi keilmuan Barat, sehingga Barat mampu mencapai sains dan teknologi, namun kemajuan tersebut sesungguhnya semu dan mengalami kepincangan mengingat dalam waktu yang bersamaan menimbulkan dekadensi moral yang sangat parah. Berbeda dengan tradisi Barat tersebut, tradisi keilmuan Islam sejak dini memiliki perhatian besar pada etika. Pada prinsipnya etika diyakini memiliki peranan yang sangat besar dalam menuntun perkembangan pengetahuan dan respons masyarakat, sehingga pertimbangan pertimbangan aksiologis selalu ditempatkan menyertai pertimbangan-pertimbangan epistomologis, disamping mampu mencapai kemajuan juga mampu mempertahankan keutuhan moralitas yang positif. Simpulan 1. Dalam epistimologi Islam, pengetahui diperoleh dua cara yaitu Pertama melalui usaha manusia, kedua yang diberikan oleh Allah SWT. 2. Sumber utama dari ilmu pengetahuan dalam Islam adalah Al-Qur’an. Al Hadis. 3. Ilmu pengetahuan Islam senantiasa berupaya untuk menerapkan metode-metode yang berlainan sesuai dengan watak subjek yang dipelajari dan cara-cara memahami subjek tersebut. 4. Semua ilmu pada hakekatnya berasal dari Allah, sehingga tidak terdapat dikotomi antara yang religius dan sekuler. Prinsip ini menjadi karakter ilmu pengetahuan dalam islam. DAFTAR PUSTAKA Abd Al-Maqshud ’ Abd Al Maqshud, Al-Taufiq baina Al-Din wa Falsafah ‘inda falasifat Al- Islam fi Andalus, Al-Qahirah : Maktabah Al-Zahra, Ahmad Fuad El-Ehwani, “ Al-Kindi” dalam M.M. Syarif (ed.), Para Filosof Muslim, Terj., bandung : Mizan, 1998 Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai,tp.tt Depag RI, Al-Quran Terjemah Per-Kata,Bandung: SYGMA, 2007 Fauzie Nurdin, Integralisme Islam dan Budaya Lokal,Yogyakarta : Gama Media, 2010 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1973 Ibnu Rusdy, Fasl al- Maqal fima Baina Al- Hikmah wa Al- Syariah min Al-Ittisal, Miyunik, 1859 M M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan ( Islam dan Umum), Jakarta : Bumi Aksara,1991 Muzamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik., Jakarta : Erlangga, 2008. Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam : Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesi. Jakarta : Kencana,2007 Ziauddin Sardar, Dimensi Ilmiah Al- Ilm, dalam Ziaudin Sardar (ed), Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim, Terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudyartanto,Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More