This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 04 Juli 2011

Hadits Maudu'


PEMALSUAN HADIS  ( MAUDU’ )

A. PENDAHULUAN
Seluruh umat Islam, baik ahli naql atau ahli aql telah sepakat bahwa Hadits merupakan salah satu hukum islam, dan kita telah mengetahui bahwa seluruh umat islam diwajibkan mengikutinya sebagaimana mungkin Al qur’an. Tegasnya bahwa Al qur’an dan Al-hadits merupakan dua sumber hukum islam yang tetap, sehingga orang islam tidak mungkin mampu memahami syari’at islam tanpa kembali kepada kedua sumber tersebut. Mujtahid dan orang orang alimpun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan salah satu dari kedua sumber tersebut. Hadits merupakan sumber hukum islam yang ke dua setelah Al Qur’an dan diyakini sebagi sesuatu yang paling penting dalam menetapkan hukum, akan tetapi pada waktu tertentu ada beberapa golongan yang memalsukan Hadits .Kesenjangan waktu antara sepeninggalan Rosululloh SAW dengan waktu Pembukuan hadits merupakan kesempatan yang baik bagi kelompok kelompok tertentu yang membuat buat hadits palsu karena kepentingan kelompok masing masing. Dalam makalah ini kami akan mencoba memapaparkan Devinisi hadits palsu, Konteks pemalsuan hadits, Motif pemalsuan hadits dan contoh hadits, Latar belakang timbulnya pemalsuan hadits, Sumber pemalsuan hadits, Dampak pemalsuan hadits, Metode identifikasi pemalsuan hadits, Kitab yang memuat hadits palsu, Upaya penyelamatan hadits dari maudu’
B.PEMBAHASAN
a. Devinisi Hadits Palsu (Maudu’)
Hadits Maudhu’ adalah merupakan dua perkataan yang berasal daripada bahasa Arab yaitu al-Hadits dan al-Maudhu’. Al-Hadits dari segi bahasa mempunyai beberapa pengertian seperti al-hadits dengan arti baru (al-jadid) dan al-hadits dengan arti cerita (al-khabar).[1]
Kata hadits merupakan isim (kata benda) yang secara bahasa berarti kisah, cerita, pembicaraan, percakapan atau komunikasi baik verbal maupun lewat tulisan. Maudhu’ dari sudut bahasa berasal dari kata wadha’a – yadha’u – wadh’an wa maudhu’an – yang mengandung beberapa pengertian antaranya: telah menggugurkan, menghinakan, mengurangkan, melahirkan, merendahkan, mencipta, menanggalkan, menurunkan.[2]
Hadits Maudu’ itu diciptakan oleh pendusta dan disandarkan kepada Rasulullah untuk memperdayai.[3]
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa sesuatu yang bukan berasal dari Nabi, baik yang berupa ucapan, tindakan maupun ketetapan tidak dapat dinamakan Hadist. Andaikata ada yang menyebutnya sebagai hadist, maka sudah tentu adalah hadist maudlu atau palsu, yaitu: hadist yang dibuat-buat atau diciptakan seseorang secara dusta atas nama Nabi SAW, baik dengan sengaja atau tidak sengaja. Tidak sengaja itu bisa dengan sebab kebodohan, kekeliruan ataupun kesalahannya. Meskipun ia tidak secara langsung  berdusta, tetapi tetap saja riwayatnya dinamakan maudlu’ (palsu)
b. Konteks Pemalsuan Hadits.
Pada masa Nabi, hadist palsu tidak pernah didapatkan, karena posisi Nabi yang memiliki otoritas penuh untuk dikonfirmasi setiap apa problem dengan masalah-masalah keagamaan dan sosial. Pengakuan salah seorang sahabat Nabi, Anas bin Malik, yang sekaligus bertugas menjadi pembantu Nabi. Anas menjadi pembantu Nabi cukup lama sekitar 25 tahun dan kebersamaannya dengan Nabi, sudah tentu membuat Anas sangat memahami tentang Nabi dan keluarganya. Anas pernah berkata, “ selama saya menjadi pembantu Nabi, saya tidak pernah ditanya oleh Nabi, dengan pertanyaan, kenapa kamu mengerjakan ini dengan seperti ini? Yang seringkali dikatakan oleh Nabi kepada saya adalah, apa yang bisa saya lakukan untukmu wahai Anas? Itulah ucapan seorang juragan kepada pekerjanya. Di kalangan sahabat, tidak ada orang yang berbohong. Demikian dituturkan oleh Anas.
Pengakuan sahabat Anas merupakan bentuk legitimasi bahwa pada saat Nabi masih hidup, para sahabat sangat stabil, tidak ada yang berbohong atas ungkapan dan apapun yang dilihat langsung dari Nabi. Itulah salah satu keuntungan sangat berharga pada saat Nabi masih hidup dan bersama dengan sahabat. Nabi mampu menjadi referensi total bagi para sahabat dalam menafsirkan dan menjalankan agama dengan baik, sehingga tidak ada yang jauh melenceng dari ajaran al-Qur’an, Karena setiap penafsiran dilakukan atas kehendak dan patokan dari Nabi secara langsung. Apalagi, pada saat beliau masih hidup, beliau sangat lantang mengkampanyekan untuk mengingatkan para sahabat bahwa siapapun yang memalsukan atau bahkan membuat hadist palsu akan diancam dengan neraka. Muhammad bin Alwi al-Maliki, menetapkan hadist palsu sebagai hadist yang batil dan haram meriwayatkannya.
Problem sangat krusial tentang penafsiran dan hadist muncul, setelah Rasulullah wafat. Para sahabat bagaikan kehilangan pegangan yang selama Nabi masih hidup dijadikan sebagai sumber rujukan tanpa reserve. Berbagai persoalan bermunculan di kalangan sahabat dan seringkali tidak mendapatkan pemecahan yang mampu meredam atas problem yang terjadi. Benih-benih perpecahan telah muncul sejak Rasulullah wafat, bahkan masalah pengganti Rasulullah setelah beliau wafat sempat menjadi polemik serius di kalangan elit sahabat pada waktu itu. Sahabat tidak lagi menemukan sosok yang mampu memberikan jawaban dan pemecahan atas masalah yang dihadapi. Akibatnya, para sahabat hanya bisa mengandalkan pemikiran dan analisa mereka sendiri dalam memahami masalah sosial yang terjadi, termasuk dalam memahami agama (al-Qur’an), bahkan wafatnya Nabi juga memberikan peluang yang besar terhadap setiap upaya penyelewengan terhadap hadist-hadist Nabi.
Bahkan beberapa abad setelah Nabi wafat, hadist-hadist buatan (palsu) bermunculan mencapai ribuan, sehingga membuat posisi hadist yang asli dari Nabi terkontaminasi dengan hadist-hadist yang tidak absah dari Nabi. Dengan berbagai kepentingan banyak orang yang sengaja menciptakan hadist-hadist baru, sehingga hampir saja mengaburkan tentang hadist yang sebenarnya berasal dari Nabi. Hadist palsu merupakan sesuatu yang tidak benar dan disandarkan kepada Nabi, baik menyangkut perbuatan, kata-kata ataupun taqrir Nabi.
Fenomena ini tentu saja merupakan bentuk kondisi yang sangat merugikan bagi umat Islam. Munculnya hadist palsu, di satu sisi menjadi bumerang bagi eksistensi hadist Nabi yang sebenarnya dan disinyalir tidak bersih dari hadist-hadist buatan, sehingga mengaburkan antara hadist asli dengan hadist palsu. Wafatnya Rasulullah tidak hanya membuat umat Islam kehilangan seorang figur inti dalam sejarah Islam, tetapi juga menjadi embrio awal munculnya berbagai problem di tubuh umat Islam sendiri. Bahkan, tidak adanya Rasulullah bukan hanya melahirkan perpecahan di kalangan umat Islam, yang paling memprihatinkan pada gilirannya ialah munculnya keberanian di kalangan umat Islam untuk berbuat sesuatu yang dilarang oleh Nabi. Munculnya berbagai penyelewengan terhadap ajaran Islam dan lebih-lebih terhadap hadist Nabi merupakan fenomena baru pasca wafatnya Rasulullah. [4]
c. Motif Pemlsuan Hadits dan Contoh Hadits.
            Adapun motif pemalsuan hadits adalah :
1.Pertikaian Politik.
            Sebagaimana telah dijelaskan , pepecahan politik di kalangan umat muslism yang dimulai semenjak masa Ali ibn Abi Thalib (35-40 H)
            Sebuah contoh hadits yang dibuat faksi Syi’ah berkenaan dengan khalifahan ali untuk meyakinkan umat muslim bahwa sesungguhnya Ali yang berhak menjadi kahlifah sesudah Nabi bukan Abu Bakar, Umar, atau Utsman sebab khilafah telah diwasiatkan Nabi kepadanya.
 لكل نبي و صي و ان عليا وصيي ووارثي 
“ Tiap-tiap nabi mempunyai orang yang mendapat wasiat dan sesungguhnya Ali adalah orang yang mendapat wasiat dan pewarisku”.[5]
2.Siasat Musuh-musuh Islam
            Hammad ibn Zayd mengatakan bahwa kaum Zindik telah memalsukan tidak kurang dari 14.000 hadits, abd al- Karim ibn ‘Auja yang mengaku sebelum dibunuh demi Allah aku  telah membuat hadits mawdhu sebanyak 4.000 hadits yang menghalalkan hal-hal yang haram dan mengharamkan hal-hal yang halal contoh haditsnya.
انا خا تم النبيين لا نبي بعد ي ان شا ء الله
“ Aku adalah penutup para nabi dan tidak ada nabi sesudahku, insya allah (jika allah menghendaki )
Hadits ini dibuat oleh Muhammad ibn Sa’ad al- Syana’i seorang Zindik, dari Humayd dari Anas. Menurut al-Hakim al- Naysaburi pengecualian dalam hadits ini yaitu Insya Allah jika allah menghendaki adalah buatan seorang Zindik.[6]
3.Kultus Indivisu.
            Pertikaian politik antara ali ibn abi Thalib dan Mu’awiyah ibn abi sufyan, misalnya, menyebabkan sebagian pengikut mereka mengkultuskan pimpinan masing-masing. Contoh haditsnya.
علي خير ابشر فمن ابي فقد كفر
“Ali adalah sebaik-baik manusia, maka barang siapa yang membangkang terhadapnya ia kafir”[7]
4. Qashshash (Tukang  Cerita)
            Pada akhir pemerintahan Harun al-Rasyid pertemuan para ahli cerita mulai marak dan semakin menjamur pada masa sesudahnya, dalam menyampaikan kisah kisah, diantaranya mengandung peringatan, para ahli cerita mengandung berusaha membuat orang sedih menghayati cerita –cerita itu dalam pertemuan yang mereka selenggarakan.
            Ahmad ibn Hambal dan Yahya ibn Ma’in ketika di datangi seorang pembauat cerita mengatakan : “ Barang siapa mengucapkan La ilaha illa Allah, maka untuk setiap kata yang diucapkan itu ia telah menciptakan seekor burung yang paruhnya terbuat dari emas dan sayapnya terbuat dari marjan”
            Mendengar pernyataan ahli cerita itu Ahmad ibn Hambal dan Yahya ibn Ma’in tercengang karena tidak merasa menriwayatkan hadits itu.[8]
5. Pendekatan pada Penguasa.
            Sebuah contoh kasus yang dialami Hhiyats ibn Ibrahim al- Nakha’i ketika berhadapan dengan khalifah al- mahdi ( 775 – 785 ) salah seorang khalifah bani Abbasiyah . Ketika kahalifah mengumpulkan sepuluh akhli hadits, di antara mereka Ghiyats ibn Ibrahim, dan ketika diminta meriwayatkan hadits, dengan mengetahui al- Mahdi senang mengadu merpati, Ghiyats menyampaikan hadits palu sebagai berikut.
عن ابي هر ير ة ان رسو ل الله ص م قا ل لا سبق الا في خف او ح فر او نصل او جنا ح
“ Dari abu Hurayrah bahwa Rasulullah  bersabda, ‘ tidak ada perlombaan kecuali pemainan panah, anggar, pacuan kuda, atau menrbangkan burung”.[9]
6.Keinginan berbuat baik tanpa dasar pengetahuan agama.
            Contoh haditsnya dalah :
الدنيا حرام على اهل الا خرة والا خرة حرام على اهل الد نيا والد نيا و الا خرة حرام اهل الله
“ Dunia ini haram bagi ahli akhirat dan akhirat haram bagi ahli dunia, sedangkan dunia dan akhirat haram bagi ahli Allah.[10]
            Menurut al- albani, haidts ini palsu yang berasal dari kalngan sufi, yang berkeinginan menabur benih akidah sufiyah yang batil.
d. Latar Belakang Timbulnya Pemalsuan Hadits
Pada zaman Nabi, boleh dikatakan tidak ada pemalsuan hadits, sebab nabi bersikap tegas sekali dalam menegakkan kebenaran dan keadilan dalam memberantas segala macam kebohongan dan kepalsuan. Pada masa pemerintahan Abu Bakar (tahun 632 M-634 M) Umar (tahun 634 M-644 M) beliau sangat teliti dan hati hati terhadap penerimaan dan penyampaian ajaran ajaran Nabi. Beliau juga menyerukan kepada seluruh umat islam agar hati-hati dan waspada didalam menerima dan menyampaikan Hadits hadits Nabi. Kholifah tidak segan segan mengambil tindakan terhadap siapapun yang tidak mengindahkan seruan dan perintah dari kedua kholifah tersebut. Tindakan tesebut terpaksa dilakukan demi menjaga kemurnian ajaran ajaran nabi dan menghindari kemungkinan penyalahgunaan oknum oknum yang tidak bertanggung jawab terhadap hadits hadits nabi untuk tujuan politik. Karena itu pada masa ini dapat dikatakan belum ada pemalsuan hadits. Pada masa kholifah utsman bin affan (tahun 644 M-656 M) dari pengikut pengikut Abdullah bin saba’ (seorang munafik yang ulung) telah mulai berani melancarkan fitnah dan provokasi dikalangan umat islam dengan tujuan memecah belah umat islam dan untuk menimbulkan kebencian umat islam kepada kholifah yang sah, sehingga menyebabkan terbunuhnya kholifah utsman bin affan (tahun 656 M) mereka telah berani membuat kebohongan dalam ajaran ajaran Nabi (Pemalsuan Hadits).[11]
e.Sumber Pemalsuan Hadits.
Pemalsuan hadis Nabi saw. tidak terbatas hanya dilakukan musuh-musuh Islam, kaum munafikin dan penyandang ide-ide sesat, akan tetapi, seperti telah disinggung, kaum “Shalihin” juga berperan aktif dalam melakukan pemalsuan hadis atas nama Rasulullah saw. Mereka melakukannya dengan anggapan mereka berbuat baik kepada agama dan mangharap pahala dari Allah SWT!
Apabila ada yang bertanya kepada salah seorang dari mereka mengapa kamu membuat-buat kebohongan atas nama Nabi saw.?! Ia dengan penuh percaya diri mengatakan saya sedang berbuat baik untuk Nabi saw., karena dengan itu saya mengarahkan umat kepada agama beliau! Saya tidak berbohong yang merugikan beliau, tetapi justru menguntungkan agama beliau!
Ibnu Hajar berkata, “Dan sebagian kaum bodoh telah tertipu, mereka membuat-buat hadis palsu tentang anjuran dan ancaman, mereka berkata, ‘Kami tidak berbohong yang merugikan Nabi saw., akan tetapi kami melakukannya untuk menguatkan syari’at beliau!’” Mereka adalah paling berbahayanya para pemalsu, sebab banyak orang tertipu dengan polesan luar kezuhudan dan kesalihan mereka. Ketika menerangkan macam-macam pemalsu hadis, An Nawawi dan As Suyuthi menerangkan, “Para pemalsu itu bermacam-macam, yang paling besar dampak bahayanya adalah kaum yang dianggap zuhud, mereka memalsu hadis dengan anggapan mencari pahala (di sisi Allah), oleh karenanya hadis-hadis palsu mereka diterima karena kepercayaan orang terhadap mereka”.
Oleh sebab itu Yahya ibn Al Qaththân berkata, “Aku tidak menyaksikan kebohongan pada sebuah komunitas lebih banyak dari komunitas kaum yang dinisbatkan (dianggap) saleh”.
Salah satu contoh hadis palsu produk mereka adalah apa yang diriwayatkan Al Hakim dengan sanadnya dari Abi Ammar Al Marwazi, dikatakan kepada Abu Ishmah Nuh ibn Abi Maryam, “Dari manakah kamu peroleh hadis tentang keutamaan surah demi surah Al quran ini dari jalur Ikrimah dari Ibnu Abbas, sementara murid-murid Ikraimah tidak ada yang meriwayatkannya? Ia menjawab, “Aku menyaksikan orang-orang telah berpaling dari Al quran dan mereka sibuk dengan fikih Abu Hanifah, kitab sejarah Ibnu Ishaq maka saya buatkan hadis ini dengan harapan mendapat pahala”.
Perlu diketahui tentang Abu Ishmah Nuh ini, bahwa ia adalah seorang ulama yang telah menguasai banyak disiplin ilmu Islam, tetapi sayang ada satu yang tidak ia miliki yaitu kejujuran. Ibnu Hibban berkata, “Ia mengumpulkan segala sesuatu kecuali kejujuran”. Al Dzahabi berkata, “Ia digelari Al Jaami’ (yang merangkum) sebab ia belajar fikih dari Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila, belajar hadis dari Hajjaj ibn Arthah, belajar tafsir dari Al Kalbi dan Muqatil, dan belajar sejarah Islam dari Ibnu Ishaq… ia menduduki jabatan sebagai qadhi, jaksa tinggi di kota Maru, ia berumur panjang dan mampu mengumpulkan banyak kesempurnaan kecuali kejujuran”.
Sementara nama para Pemalsu hadits yang terkenal dari golongan islam sendiri adalah:
a) Abu Daud Al Nakha’i
Contoh lain pamalsu hadis yang shaleh adalah Abu Daud Al Nakha’i. Ia adalah seorang yang paling panjang bangun malamnya, paling banyak puasa di siang harinya, tetapi ia gemar memalsu hadis!
b) Abu Bisyri Ahmad ibn Mumahhad Al Faqîh Al Marwazi
Ibnu Hibban berkata, “Abu Bisyri Ahmad ibn Mumahhad Al Faqîh Al Marwazi salah satu yang paling gigih dalam membela sunnah dan paling tegas terhadap yang menyalahinya, tetapi ia gemar membuat hadis-hadis palsu.”
c) Wahb ibn Hafsh
Ibnu Adiy berkata, “Wahb ibn Hafsh termasuk kaum Shalihin, ia pernah berdiam diri tidak berbicara kepada siapapun selama dua puluh tahun, tetapi ia suka berbohong dalam hadis dengan kebohongan yang keji”.
d). Harb ibn Maimûn al Abdi
Harb ibn Maimûn al Abdi; Abu Abdillah al Bashri, seorang mujtahid, abid (ahli ibadah), tetapi ia paling pembohongnya orang.
e) Haytsam ath Thâi
Haitsam ibn Adi ath Thâi (W:207H), seorang pembohong besar, tidak bernilai sedikitpun. Budak wanitanya bertutur, “Tuanku selalu bangun di malam hari untuk salat, dan apabila masuk waktu pagi ia duduk (di majlisnya) mengobral kebohongan.
f) Muhammad ibn Ibrahim asy Syâmi.
Muhammad ibn Ibrahim asy Syâmi; Abu abdillah, ia digelari az zahid (seorang yang zuhud). Ia adalah seorang kadzdzâb, wadhdhâ’, punya kebiasa memalsu hadis. Rata-rata hadisnya adalah tidak pernah dihafal muhaddis lain. Tidak halal meriwayatkan darinya kecuali untuk mengambil pelajaran dari kepalsuannya. Ia terhitung dari kaum zuhud.
g) Al Hâfidz Abdul Mughîts al Hanbali.
Nama lengkapnya Bdul Mughîts ibn Zuhair ibnAlawi al Harbi al Hanbali al Baghdadi (W.583H). salah seorang huffâdz (ahli hadis kelas atas). Para ulama mensifatinya dengan amanat, kesalihan, kesunguhan dalam ibadah dan berpegang dengan Sunnah.
Kendati demikian ia mengarang sebuah buku tentang keutamaan Yazid ibn Muawiyah, yang di dalamnya ia penuhi dengan hadis-hadis palsu. Ibnu Jawzi menulis sebuah buku sebagai bantahan atasnya dengan judul ar Radd ‘ala al Muta’shshib al ‘anîd al Mâni’ min Dzammi Yazîd (Bantahan atas orang yang Fanatik lagi Degil Yang Melarang Mengecam Yazid)
H) Mu’alla ibn Shubaîh
Mu’alla ibn Shubaih al Mûshili. Ibnu Ammar berkata tentangnya, “Ia tergolong ahli ibadah warga kota Mosel. Ia gemar memalsu hadis dan berbohong.
i) Mu’alla ibn Hilâl
Mu’alla ibn Hilal ibn Suwaid ath Thahhân al Kûfi al ‘Abid (sang ahli ibadah) ia seorang pembohong besar yang sangat terkenal dengan kegemaran memalsu hadis. Ahmad berkata, “Semua hadis riwayatnya adalah palsu.
j) Muhammad ibn ‘Ukâsyah
Muhammad ibn ‘Ukâsyah al Kirmâni, pembohong besar, pemalsu hadis dan menyampaikan hadis-hadis bathil. Ia seorang yang mudah menangis (karena terharu) sehingga dikenal dengan gelar itu. Jika ia membaca Al qur’an ia menetetskan air mata dan menangis. Telah dinukil dari al Hafidz as Sirri ia berkata, “Ahmad al Juwaibari, Muhammad ibn Tamî dan Muhammad ibn ‘Ukâsyah telah memalsu hadis atas nama Rasulullah saw. Sebanyak 10 ribu hadis.”
Dalam at Tidzkâr-nya:155, al Qurthubi menggoleongkannya dalam kelompok para pemalsu hadis demi merangsang orang-orang untuk mengerjakan keutamaan amalan, fadhâilul a’mâl.[12]


f. Dampak Pemalsuan Hadits
Hadits-hadits palsu yang banyak beredar di tengah masyarakat kita memberi dampak yang sangat buruk pada masyarakat Islam diantaranya:
1 Munculnya keyakinan-keyakinan yang sesat

  Contohnya : Dalam siasat musuh-musuh Islam  mereka mengatakan dalam hadits yang mereka buat : “ Aku adalah penutup para Nabi dan tidak ada nabi
sesudahku, insya allah (jika Allah menghendaki). Kata kata ini bisa menyesatkan dalam kehidupan bermasyarakat saat ini di indonesia saja terbukti banyak yang mengaku nabi, belum labi yang salah dalam memahmi jihad fisabilillah,  ini menandakan sebuah keyakinan yang sesat padahal tidak ada nabi setelah nabi Muhammad Saw.

2 Munculnya ibadah-ibadah yang bid’ah
    Contohnya : Dengan adanya hadits mawdhu’ maka akan munculnya pengamalan dalam ibadah bukan bersumber kepada Al-qur’an dan Hadits nabi, misalanya.     

3 Matinya sunnah
   Hadits mawdhu’ dapat menimbulkan dampak matinya sunnah rosul karena salah membaca hadits dan memahaminya serta mengamalkannya  terutama hadits hadits mawdhu’ yang ada unsur kepentingan didalamnya.

4.Dampak paling berbahaya adalah yang dilakonkan oleh para qari’ yang berpura-pura khusyu’ dan kaum intelektual lemah (bodoh) yang menampakkan kekhusyu’an dan rajin ibadah, mereka membuat-buat hadis untuk mendapatkan hadiah dan kedudukan di sisi para penguasa. Dengannya mereka mendapatkan uang, tanah lahan dan rumah-rumah..[13]

g.Metode Identifikasi Pemalsuan Hadits.
Metode Identifikasi untuk melihat pemalsuan hadits dapat di lihat dari :
1.Kriteria Sanad.
a. Pengakuan periwayat ( pemalsu ) hadits.
   Sebagaimana pengakuan Abdul Karim Abu Al-Auja ketika akan duhukum mati ia mengatakan “ Demi Allah aku palsukan padamu 4.000 buah hadits didalamnya aku haramkan yang halal dan aku halalkan yang haram. Kemudian dihukum pancung lehernya atas intruksi Muhammad bin Sulaiman bin Ali Gubernur Basharah ( 160-173H)[14]
b. Bertentangan dengan realitas historis periwayat.
c. Periwayat pendusta
d. Keadaan periwayat dan dorongan psikologisnya.
2. Keiteria Matan.
a. Buruk lafal (redaksi)nya seperti tidak menyerupai perkataan Nabi atau  sahabat.
b. Rusak maknanya disebabkan bertentangan dengan dalil-dalil syar’i dan kaidah hukum dan akhlak. Betentangan dengan realitas, bertentangan dengan akal pikiran, dan adanya bukti yang sah tentang kepalsuannya.[15]
     c. Tanda-tanda Mawdhu’ pada matan.
        1. Lemah susunan lafal dan maknanya.
        2. Rusaknya makna
  3. menyalahi teks al-qur’an atau hadits mutawatir.
  4. Menyalahai realita sejarah.
  5. Shabat ditiduh menyembunyikan hadits.[16]
Para ulama hadis membuat kaidah-kaidah atau patokan-patokan serta menetapkan ciri-ciri kongkret yang dapat menunjukkan bahwa suatu hadis itu palsu. Ciri-ciri yang menunjukkan bahwa hadis itu palsu antara lain:
1.      Susunan hadis itu baik lafaz maupun maknanya janggal, sehingga tidak pantas rasanya disabdakan oleh Nabi SAW., seperti hadis:
Artinya:
"Janganlah engkau memaki ayam jantan, karena dia teman karibku. "
  1. Isi maksud hadis tersebut bertentangan dengan akal, seperti hadis:
Artinya:
"Buah terong itu menyembuhkan. Segala macam penyakit. "
  1. Isi/maksud itu bertentangan dengan nas Al-Quran dan atau hadis mutawatir, seperti hadis:
Artinya:
"Anak zina itu tidak akan masuk surga. "
  1. Hadis tersebut bertentangan dengan firman Allah SWT. :
Artinya:
"Orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. " (QS. Fatir: 18)[17]
h.Kitab Yang Memuat Hadits Palsu.
1. Kitab-kitab tafsir yang di indikasi terdapat banyak hadits mawdhu’ antara lain :
a. Ats tsa’labi,
b. Al- Wahidi,
c. Az- Zaamakhsyari,
d. Al- Baidhawi,
e. dan Asy Syaukani.
2. Kitab –kitab mawdhu’ yang terkenal.
   Di antara kitab-kitab yang memuat hadits mawdhu’ adalah sebagai berikut :
a.       Tadzkirah Al- Mawdhu’at, Karya Abu al- Fadhal Muhammad bin Thahir al- Maqdisi ( 448-507.H) Kitab ini menyebutkan hadits secara alphabet dan disebutkan nama perawi yang dinailai cacat (tajrih)
b.      Al-Mawdhu’at Al- Kubra, karya Abu al- Faraj abdurrahman Al- Jauzi ( 508-597 H) 4 jilid.
c.       Al-La’ali Al- Mashnu’ah fi Al-Ahadits Al- Mawdhu’ah, karya Jalaluddin As- Suyuthi ( 849-911 H )
d.      Al-Ba’its ‘ala Al- Khalash min Hawadits Al- Qashash, karya Zainuddin Abdurrahman Al- Iraqi ( 725-806 H).
e.       Al- Fawa’id Al- Majmu’ah fi al- Ahadits Al- Mawadhu’ah, karya Al- Qadhi Abu Abullah Muhammad bin ali Asy-Syaukani ( 1173-1255 H).[18]

i.Upaya Penyelamatan Hadits dari Maudu’
Sejak terbunuhnya khalifah Usman bin Affan dan tampilnya Ali bin Abu Thalib serta Muawiyah yang masing-masing ingin memegang jabatan khalifah, maka umat Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu syiah. khawarij, dan jumhur. Masing-masing kelompok mengaku berada dalam pihak yang benar dan menuduh pihak lainnya salah. Untuk membela pendirian masing-masing, maka mereka membuat hadis-hadis palsu. Mulai saat itulah timbulnya riwayat-riwayat hadis palsu. Orang-orang yang mula-mula membuat hadis palsu adalah dari golongan Syiah kemudian golongan khawarij dan jumhur, Tempat mula berkembangnya hadis palsu adalah daerah Irak tempat kamu syiah berpusat pada waktu itu. Pada abad kedua, pemalsuan hadis bertambah luas dengan munculnya propaganda-propaganda politik untuk menumbangkan rezim Bani Umayyah. Sebagai imbangan, muncul pula dari pihak Muawiyyah ahli-ahli pemalsu hadis untuk membendung arus propaganda yang dilakukan oleh golongan oposisi. Selain itu, muncul juga golongan Zindiq, tukang kisah yang berupaya untuk menarik minat masyarakat agar mendengarkannya dengan membuat kisah-kisah palsu.
1.    Usaha para ulama dalam menanggulangi hadits mawdhu’
Ada beberapa usaha yang dilakukan para ulama dalam mengenggulangi mawdhu’ dengan tujuan agar hadits tetap eksis terpelihara dan bersih dari pemalsuan tangan orang- orang kotor. Di samping agar jelas posisi hadits mawdhu’ tidak tercampur dengan hadits-hadits shalih dari rasulullah Saw diantara usaha-usaha itu sebagai berikut :
a.       Memelihara sanad hadits
b.      Meningkatkan kesungguhan peneliti hadits
c.       Mengisolir para pendusta hadits
d.      Menerangkan keadaan para perawi
e.       Memberikan kaidah-kaidah hadits.[19]
2.    Menurut Imam Malik ada empat jenis orang yang hadisnya tidak boleh diambil darinya:
  1. Orang yang kurang akal.
  2. Orang yang mengikuti hawa nafsunya yang mengajak masyarakat untuk mengikuti hawa nafsunya.
  3. Orang yang berdusta dalam pembicaraannya walaupun dia tidak berdusta kepada Rasul.
  4. Orang yang tampaknya saleh dan beribadah apabila orang itu tidak mengetahui nilai-nilai hadis yang diriwayatkannya.
Untuk itu, kemudian sebagian ulama mempelajari dan meneliti keadaan perawi-perawi hadis yang dalam masa itu banyak terdapat perawi-perawi hadis yang lemah Diantara perawi-perawi tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui mana yang benar-benar dapat diterima periwayatannya dan mana yang tidak dapat diterima.
Selain itu juga diusahakan pemberantasan terhadap hadis-hadis palsu oleh para ulama, yaitu dengan cara menunjukan nama-nama dari oknum-oknum/ golongan-golongan yang memalsukan hais berikut hadis-hadis yang dibuatnya supaya umat islam tidak terpengaruh dan tersesat oleh perbuatan mereka. Untuk itu, para ulama menyusun kitab-kitab yang secara khusus menerangkan hadis-hadis palsu tersebut sebagai mana penulis sebutkan sebelumnya.






C. KESIMPULAN
1. sesuatu yang bukan berasal dari Nabi, baik yang berupa ucapan, tindakan maupun ketetapan tidak dapat dinamakan Hadist. Andaikata ada yang menyebutnya sebagai hadist, maka sudah tentu adalah hadist maudlu atau palsu, yaitu: hadist yang dibuat-buat atau diciptakan seseorang secara dusta atas nama Nabi SAW, baik dengan sengaja atau tidak sengaja. Tidak sengaja itu bisa dengan sebab kebodohan, kekeliruan ataupun kesalahannya. Meskipun ia tidak secara langsung  berdusta, tetapi tetap saja riwayatnya dinamakan maudlu’ (palsu)
2. tidak adanya Rasulullah melahirkan perpecahan di kalangan umat Islam, yang paling memprihatinkan ialah munculnya keberanian di kalangan umat Islam untuk berbuat sesuatu yang dilarang oleh Nabi. Munculnya berbagai penyelewengan terhadap ajaran Islam dan lebih-lebih terhadap hadist Nabi merupakan fenomena baru pasca wafatnya Rasulullah.
3. Motif pemalsuan hadis ialah :
1.Pertikaian Politik.
2.Siasat Musuh-musuh Islam
3.Kultus Indivisu.
4.Perbuatan Cerita
5. Pendekatan pada Penguasa.
6.Keinginan berbuat baik tanpa dasar pengetahuan agama.

4. Pada masa kholifah utsman bin affan (tahun 644 M-656 M) dari pengikut pengikut Abdullah bin saba’ (seorang munafik yang ulung) telah mulai berani melancarkan fitnah dan provokasi dikalangan umat islam dengan tujuan memecah belah umat islam dan untuk menimbulkan kebencian umat islam kepada kholifah yang sah, sehingga menyebabkan terbunuhnya kholifah utsman bin affan (tahun 656 M) mereka telah berani membuat kebohongan dalam ajaran ajaran Nabi (Pemalsuan Hadits).
5.Dampak Pemalsuan hadits.

a. Kitab-kitab tafsir yang di indikasi terdapat banyak hadits mawdhu’ antara lain :
a. Ats tsa’labi,
b. Al- Wahidi,
c. Az- Zaamakhsyari,
d. Al- Baidhawi,
e. dan Asy Syaukani.
b. Kitab –kitab mawdhu’ yang terkenal.
   Di antara kitab-kitab yang memuat hadits mawdhu’ adalah sebagai berikut :
1.      Tadzkirah Al- Mawdhu’at, Karya Abu al- Fadhal Muhammad bin Thahir al- Maqdisi ( 448-507.H) Kitab ini menyebutkan hadits secara alphabet dan disebutkan nama perawi yang dinailai cacat (tajrih)
2.      Al-Mawdhu’at Al- Kubra, karya Abu al- Faraj abdurrahman Al- Jauzi ( 508-597 H) 4 jilid.
3.      Al-La’ali Al- Mashnu’ah fi Al-Ahadits Al- Mawdhu’ah, karya Jalaluddin As- Suyuthi ( 849-911 H )
4.      Al-Ba’its ‘ala Al- Khalash min Hawadits Al- Qashash, karya Zainuddin Abdurrahman Al- Iraqi ( 725-806 H).
5.      Al- Fawa’id Al- Majmu’ah fi al- Ahadits Al- Mawadhu’ah, karya Al- Qadhi Abu Abullah Muhammad bin ali Asy-Syaukani ( 1173-1255 H).
6.Upaya Penyelamatan Hadits dari Maudu.
a.       Memelihara sanad hadits
b.      Meningkatkan kesungguhan peneliti hadits
c.       Mengisolir para pendusta hadits
d.      Menerangkan keadaan para perawi
e.       Memberikan kaidah-kaidah hadits.


DAFTAR PUSTAKA




Ahmad Muhammad Syakari, Al Ba’its Al- Hatsits Syarah Ikhtishar Ulum Al- Hadits

A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Edisi Kedua, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997)

Dalam Ahmad Muhammad Syakir, al Baits al- Hadits Syarh Ikhtishar, Ulum al- Hadits ( Beirut Dar al- Tsaqafah al- Islamiyah, tt,

Dikutif dari buku Abdul Masjid Khon dalam bukunya . Ulumul Hadits,Bumi Aksara, Jakarta, 2007

Hafidz Hasan al-Mas’udi, Minhatul Muqhits fi Ilmi Musthalah al-Hadist (Surabaya, Maktabah, ttp


Idri, Studi Hadits, Jakarta, Prenada Media Grup, 2010

Ijaj al-Khatib, Usul al-Hadith ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, Beirut, 1981. cet ke 4

Masjufuk, Pengantar Ilmu Hadits. Surabaya,PT. Bina Ilmu, 1993

Muhammad Ibn Ahmad Ibn Utsman al- Dzahabi, Tartib al- mawdha’at li Ibn al-Jawzt, Beirut : Dar al- Kutub al- Ilmiyah, 1994

Muhammad ibn Ahmad ibn Utsman al- Dzahabi, Tartib

Muhammad Nashir al- Din al- albani, silsilah al- hadits al- Dha’ifah wa al- Mawdha’ah wa Atsaruha al- Sa-ifi al- Ummah, juz I, Beirut : al- Maktab al- Islam, 1985

Muhammad Ahmad,  M. Mudzakir, Ulumul Hadis, Bandung, Pustaka Setia, 2004

Shubhi al-Shalih, ‘Ulam al- Hadits wa Musthalahuh, Beirut : Dar al-Ilm al- Malayin, 1988

www.PemalsuanHadits.com. 24 Februari 2011 




     [1]. Ijaj al-Khatib, Usul al-Hadith ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, Beirut, 1981. cet ke 4,h. 26-27.
     [2].A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Edisi Kedua, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),  h. 242
      [3] Shubhi al-Shalih, ‘Ulam al- Hadits wa Musthalahuh, Beirut : Dar al-Ilm al- Malayin, 1988 M, h.192
[4] Hafidz Hasan al-Mas’udi, Minhatul Muqhits fi Ilmi Musthalah al-Hadist (Surabaya, Maktabah, ttp), h. 27
       [5] Muhammad Ibn Ahmad Ibn Utsman al- Dzahabi, Tartib al- mawdha’at li Ibn al-Jawzt, Beirut : Dar al- Kutub al- Ilmiyah, 1994, h. 112
      [6] Dalam Ahmad Muhammad Syakir, al Baits al- Hadits Syarh Ikhtishar, Ulum al- Hadits ( Beirut Dar al- Tsaqafah al- Islamiyah, tt, h.79
[7] Muhammad ibn Ahmad ibn Utsman al- Dzahabi, Tartib, h.102
[8] Ahmad Muhammad Syakir, al Ba’its, h. 80

       [9] Ahmad Muahmmad Syakir, al- Ba’its, h. 81
      [10] Muhammad Nashir al- Din al- albani, silsilah al- hadits al- Dha’ifah wa al- Mawdha’ah wa Atsaruha al- Sa-ifi al- Ummah, juz I, Beirut : al- Maktab al- Islam, 1985, h. 121
[11] . Masjufuk, Pengantar Ilmu Hadits. Surabaya,PT. Bina Ilmu, 1993, h.116-117
[12] www.PemalsuanHadits.com. 24 Februari 2011 
       [14] Ahmad Muhammad Syakari, Al Ba’its Al- Hatsits Syarah Ikhtishar Ulum Al-Hadits ...h.67-68. Dikutif dari buku Abdul Masjid Khon dalam bukunya . Ulumul Hadits,Bumi Aksara, Jakarta, h. 2007
      [15] Idri, Studi Hadits, Jakarta, Prenada Media Grup, 2010, h.270

        [16] Abdul Masjid Khon, Op.Cit, h. 210-213
     [17] Muhammad Ahmad,  M. Mudzakir, Ulumul Hadis, Bandung, Pustaka Setia, 2004, h., 130

       [18] Abdul Masjid Khon, Op.Cit, h. 215-216

          [19] Ibid, h. 213-215

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More