TERWUJUDNYA
PERNIKAHAN YANG BERKAH.[1]
Muhammad Ali, M.Pd.I.[2]
Latar Belakang
Seorang yang melaksanakan aqad nikah, maka ia akan mendapatkan banyak
ucapan do’a dari para undangan dengan do’a keberkahan sebagaimana diajarkan
oleh Rasulullah SAW; “Semoga Allah memberkahimu, dan menetapkan keberkahan
atasmu, dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.” Do’a ini sangat dalam bila
kita renungkan, bahwa pernikahan seharusnya akan mendatangkan banyak keberkahan
(mendatangkan kebaikan dan keselamatan) bagi pelakunya. Namun kenyataannya,
kita mendapati banyak fenomena yang menunjukkan tidak adanya keberkahan hidup berumah
tangga setelah pernikahan, baik di kalangan masyarakat umum maupun di kalangan
keluarga du’at (kader dakwah). Wujud ketidakberkahan dalam pernikahan itu bisa
dilihat dari berbagai segi, baik yang bersifat materil ataupun non materil.
Munculnya berbagai konflik dalam keluarga tidak jarang berawal dari
permasalahan ekonomi. Boleh jadi ekonomi keluarga yang selalu dirasakan kurang
kemudian menyebabkan menurunnya semangat beramal/beribadah. Sebaliknya mungkin
juga secara materi sesungguhnya sangat mencukupi, akan tetapi melimpahnya harta
dan kemewahan tidak membawa kebahagiaan dalam pernikahannya.
Seringkali kita juga menemui kenyataan bahwa seseorang tidak pernah
berkembang kapasitasnya walau pun sudah menikah. Padahal seharusnya orang yang
sudah menikah kepribadiannya makin sempurna, dari sisi wawasan dan pemahaman
makin luas dan mendalam, dari segi fisik makin sehat dan kuat, secara emosi
makin matang dan dewasa, trampil dalam berusaha, bersungguh-sungguh dalam
bekerja, dan teratur dalam aktifitas kehidupannya sehingga dirasakan manfaat
keberadaannya bagi keluarga dan masyarakat di sekitarnya.
Realitas lain juga menunjukkan adanya ketidakharmonisan dalam kehidupan
keluarga, sering muncul konflik suami isteri yang berujung dengan perceraian.
Juga muncul anak-anak yang terlantar (broken home) tanpa arahan sehingga
terperangkap dalam pergaulan bebas dan narkoba. Semua itu menunjukkan tidak
adanya keberkahan dalam kehidupan berumah tangga.
Ada 2 jenis manusia ketika ditanya: “Anda ingin
menikah dengan orang shalih/shalihah atau tidak?”. Manusia jenis pertama
menjawab “Ya, tentu saja saya ingin”, dan inilah muslim yang masih bersih
fitrahnya. Ia tentu mendambakan seorang suami atau istri yang taat kepada
Allah, ia mendirikan shalat ia menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi
larangan-larangan-Nya. Ia menginginkan sosok yang shalih atau shalihah. Maka,
jika orang termasuk manusia pertama ini agar ia mendapatkan pasangan yang
shalih atau shalihah, maka ia harus berusaha menjadi orang yang shalih atau shalihah
pula. Allah Azza Wa Jalla berfirman :
àM»sWÎ7sƒø:$# tûüÏWÎ7y‚ù=Ï9 šcqèWÎ7y‚ø9$#ur ÏM»sWÎ7y‚ù=Ï9 ( àM»t6Íh‹©Ü9$#ur tûüÎ6Íh‹©Ü=Ï9 tbqç7ÍhŠ©Ü9$#ur ÏM»t6Íh‹©Ü=Ï9 4 y7Í´¯»s9'ré& šcrâ䧎y9ãB $£JÏB tbqä9qà)tƒ ( Nßgs9 ×otÏÿøó¨B ×-ø—Í‘ur ÒOƒÌŸ2 ÇËÏÈ
Artinya : wanita-wanita yang keji adalah
untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita
yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik
dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). mereka
(yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh
itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga)[1034].
Ayat ini menunjukkan kesucian 'Aisyah
r.a. dan Shafwan dari segala tuduhan yang ditujukan kepada mereka. Rasulullah
adalah orang yang paling baik Maka pastilah wanita yang baik pula yang menjadi
istri beliau.
Sedangkan manusia jenis kedua menjawab: “Ah saya sih ndak mau
yang alim-alim” atau semacam itu. Inilah seorang muslim yang telah keluar dari
fitrahnya yang bersih, karena sudah terlalu dalam berkubang dalam kemaksiatan
sehingga ia melupakan Allah Ta’ala, melupakan kepastian
akan datangnya hari akhir, melupakan kerasnya siksa neraka. Yang ada di
benaknya hanya kebahagiaan dunia semata dan enggan menggapai kebahagiaan
akhirat. Kita khawatir orang-orang semacam inilah yang dikatakan oleh
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai orang yang
enggan masuk surga. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
bersabda: “Setiap ummatku akan masuk surga kecuali yang enggan”.
Para sahabat bertanya: ‘Siapakah yang enggan itu wahai Rasulullah?’. Beliau
bersabda: “Yang taat kepadaku akan masuk surga dan yang ingkar
terhadapku maka ia enggan masuk surga” (HR. Bukhari)
Memperhatikan fenomena kegagalan dalam menempuh kehidupan rumah tangga
sebagaimana penulis paparkan di atas, maka penulis berasumsi ini sangat penting
untuk di kaji dalam Kajihan Syariat Muslimah (KARIMAH) LDK Al-Islah STAIN Jurai Siwo
Metro Lampung sebagai calon-calon generasi masa depan
agama yang akan melahirkan muslimah
pembaharu peradaban yang berakhlak mulia
dalam keluarga dan bermasyarakat dengan pradigma berpikir terciptanya kebahagiaan
dunia dan akherat.
Pembahasan
Dari penomena yang penulis paparkan di atas maka ada beberapa kiat-kiat
yang kami tawarkan agar tetap mendapatkan keberkahan dalam meniti hidup
berumah tangga ?
1. Meluruskan
niat/motivasi (Ishlahun Niyat)
Motivasi menikah bukanlah semata untuk memuaskan kebutuhan biologis/fisik.
Menikah merupakan salah satu tanda kebesaran Allah SWT sebagaimana diungkap
dalam Alqur’an
(QS. Ar Rum:21).
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurø—r& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômu‘ur 4 ¨bÎ) ’Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGtƒ ÇËÊÈ
Artinya
: dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir.
Menikah juga merupakan perintah Allah SWT (QS. An-Nur:32)
(#qßsÅ3Rr&ur 4‘yJ»tƒF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.ÏŠ$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3tƒ uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóムª!$#
`ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ììÅ™ºur ÒOŠÎ=tæ ÇÌËÈ
Artinya
: dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian[1035] diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha
mengetahui.
yang berarti suatu aktifitas yang bernilai ibadah dan merupakan Sunnah
Rasul dalam kehidupan sebagaimana ditegaskan dalam salah satu hadits :
”Barangsiapa yang dimudahkan baginya untuk menikah, lalu ia tidak menikah maka
tidaklah ia termasuk golonganku” (HR.At-Thabrani dan Al-Baihaqi).
Oleh karena nikah merupakan sunnah Rasul, maka selayaknya proses menuju
pernikahan, tata cara (prosesi) pernikahan dan bahkan kehidupan pasca
pernikahan harus mencontoh Rasul. Misalnya saat hendak menentukan pasangan
hidup hendaknya lebih mengutamakan kriteria ad-Dien (agama/akhlaq) sebelum
hal-hal lainnya (kecantikan/ketampanan, keturunan, dan harta); dalam prosesi
pernikahan (walimatul ‘urusy) hendaknya juga dihindari hal-hal yang berlebihan
(mubadzir), tradisi yang menyimpang (khurafat) dan kondisi bercampur baur
(ikhtilath). Kemudian dalam kehidupan berumah tangga pasca pernikahan hendaknya
berupaya membiasakan diri dengan adab dan akhlaq seperti yang dicontohkan
Rasulullah saw.
َوَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( تُنْكَحُ اَلْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ : لِمَالِهَا , وَلِحَسَبِهَا , وَلِجَمَالِهَا , وَلِدِينِهَا , فَاظْفَرْ بِذَاتِ اَلدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ مَعَ بَقِيَّةِ اَلسَّبْعَةِ
|
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: harta,
keturunan, kecantikan, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama,
engkau akan berbahagia." Muttafaq Alaihi dan Imam Lima.
Menikah merupakan upaya menjaga kehormatan dan kesucian diri, artinya
seorang yang telah menikah semestinya lebih terjaga dari perangkap zina dan
mampu mengendalikan syahwatnya. Allah SWT akan memberikan pertolong-an kepada
mereka yang mengambil langkah ini; “ Tiga golongan yang wajib Aku (Allah)
menolongnya, salah satunya adalah orang yang menikah karena ingin menjaga
kesucian dirinya.” (HR. Tarmidzi)
Menikah juga merupakan tangga kedua setelah pembentukan pribadi muslim
(syahsiyah islamiyah) dalam tahapan amal dakwah, artinya menjadikan keluarga
sebagai ladang beramal dalam rangka membentuk keluarga muslim teladan (usrah
islami) yang diwarnai akhlak Islam dalam segala aktifitas dan interaksi seluruh
anggota keluarga, sehingga mampu menjadi rahmatan lil ‘alamin bagi masyarakat
sekitarnya. Dengan adanya keluarga-keluarga muslim pembawa rahmat diharapkan
dapat terwujud komunitas dan lingkungan masyarakat yang sejahtera.
2. Sikap saling
terbuka (Mushorohah)
Secara fisik suami isteri telah dihalalkan oleh Allah SWT untuk saling
terbuka saat jima’ (bersenggama), padahal sebelum menikah hal itu adalah
sesuatu yang diharamkan. Maka hakikatnya keterbukaan itu pun harus diwujudkan
dalam interaksi kejiwaan (syu’ur), pemikiran (fikrah), dan sikap (mauqif) serta
tingkah laku (suluk), sehingga masing-masing dapat secara utuh mengenal hakikat
kepribadian suami/isteri-nya dan dapat memupuk sikap saling percaya (tsiqoh) di
antara keduanya.
Hal itu dapat dicapai bila suami/isteri saling terbuka dalam segala hal
menyangkut perasaan dan keinginan, ide dan pendapat, serta sifat dan
kepribadian. Jangan sampai terjadi seorang suami/isteri memendam perasaan tidak
enak kepada pasangannya karena prasangka buruk, atau karena kelemahan/kesalahan
yang ada pada suami/isteri. Jika hal yang demikian terjadi hal yang demikian,
hendaknya suami/isteri segera introspeksi (bermuhasabah) dan mengklarifikasi
penyebab masalah atas dasar cinta dan kasih sayang, selanjutnya mencari solusi
bersama untuk penyelesaiannya. Namun apabila perasaan tidak enak itu dibiarkan
maka dapat menyebabkan interaksi suami/isteri menjadi tidak sehat dan potensial
menjadi sumber konflik berkepanjangan.
3. Sikap toleran
(Tasamuh)
Dua insan yang berbeda latar belakang sosial, budaya, pendidikan, dan
pengalaman hidup bersatu dalam pernikahan, tentunya akan menimbulkan terjadinya
perbedaan-perbedaan dalam cara berfikir, memandang suatu permasalahan, cara
bersikap/bertindak, juga selera (makanan, pakaian, dsb). Potensi perbedaan
tersebut apabila tidak disikapi dengan sikap toleran (tasamuh) dapat menjadi
sumber konflik/perdebatan. Oleh karena itu masing-masing suami/isteri harus
mengenali dan menyadari kelemahan dan kelebihan pasangannya, kemudian berusaha
untuk memperbaiki kelemahan yang ada dan memupuk kelebihannya. Layaknya sebagai
pakaian (seperti yang Allah sebutkan dalam QS. Albaqarah:187).
¨@Ïmé& öNà6s9 s's#ø‹s9 ÏQ$uŠÅ_Á9$# ß]sù§9$# 4’n<Î) öNä3ͬ!$|¡ÎS 4 £`èd Ó¨$t6Ï9 öNä3©9 öNçFRr&ur Ó¨$t6Ï9 £`ßg©9 3 zNÎ=tæ ª!$# öNà6¯Rr& óOçGYä. šcqçR$tFøƒrB öNà6|¡àÿRr& z>$tGsù öNä3ø‹n=tæ $xÿtãur öNä3Ytã ( z`»t«ø9$$sù £`èdrçŽÅ³»t/ (#qäótFö/$#ur
$tB |=tFŸ2 ª!$# öNä3s9 4 (#qè=ä.ur (#qç/uŽõ°$#ur 4Ó®Lym tû¨üt7oKtƒ ãNä3s9 äÝø‹sƒø:$# âÙu‹ö/F{$# z`ÏB ÅÝø‹sƒø:$# ÏŠuqó™F{$#
z`ÏB Ìôfxÿø9$# ( ¢OèO (#q‘JÏ?r& tP$u‹Å_Á9$# ’n<Î) È@øŠ©9$# 4 Ÿwur ÆèdrçŽÅ³»t7è? óOçFRr&ur tbqàÿÅ3»tã ’Îû ωÉf»|¡yJø9$# 3 y7ù=Ï? ߊr߉ãn «!$# Ÿxsù $ydqç/tø)s? 3 y7Ï9ºx‹x. ÚúÎiüt6ムª!$# ¾ÏmÏG»tƒ#uä Ĩ$¨Y=Ï9 óOßg¯=yès9 šcqà)Gtƒ ÇÊÑÐÈ
Artinya
: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian
bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu,
karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang
campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan
Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu
fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf[115] dalam mesjid.
Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.
Dengan demikian maka suami/isteri harus mampu mem-percantik penampilan,
artinya berusaha memupuk kebaikan yang ada (capacity building); dan menutup
aurat artinya berupaya meminimalisir kelemahan/kekurangan yang ada.
Prinsip “hunna libasullakum wa antum libasullahun (QS. 2:187) antara suami
dan isteri harus selalu dipegang, karena pada hakikatnya suami/isteri telah menjadi
satu kesatuan yang tidak boleh dipandang secara terpisah. Kebaikan apapun yang
ada pada suami merupakan kebaikan bagi isteri, begitu sebaliknya; dan
kekurangan/ kelemahan apapun yang ada pada suami merupakan kekurangan/kelemahan
bagi isteri, begitu sebaliknya; sehingga muncul rasa tanggung jawab bersama
untuk memupuk kebaikan yang ada dan memperbaiki kelemahan yang ada.
Sikap toleran juga menuntut adanya sikap mema’afkan, yang meliputi 3 (tiga)
tingkatan, yaitu: (1) Al ‘Afwu yaitu mema’afkan orang jika memang diminta, (2)
As-Shofhu yaitu mema’afkan orang lain walaupun tidak diminta, dan (3)
Al-Maghfirah yaitu memintakan ampun pada Allah untuk orang lain. Dalam
kehidupan rumah tangga, seringkali sikap ini belum menjadi kebiasaan yang
melekat, sehingga kesalahan-kesalahan kecil dari pasangan suami/isteri
kadangkala menjadi awal konflik yang berlarut-larut. Tentu saja “mema’afkan”
bukan berarti “membiarkan” kesalahan terus terjadi, tetapi mema’afkan berarti
berusaha untuk memberikan perbaikan dan peningkatan.
4. Komunikasi
(Musyawarah)
Tersumbatnya saluran komunikasi suami-isteri atau orang tua-anak dalam
kehidupan rumah tangga akan menjadi awal kehidupan rumah tangga yang tidak
harmonis. Komunikasi sangat penting, disamping akan meningkatkan jalinan cinta
kasih juga menghindari terjadinya kesalahfahaman.
Kesibukan masing-masing jangan sampai membuat komunikasi suami-isteri atau
orang tua-anak menjadi terputus. Banyak saat/kesempatan yang bisa dimanfaatkan,
sehingga waktu pertemuan yang sedikit bisa memberikan kesan yang baik dan
mendalam yaitu dengan cara memberikan perhatian (empati), kesediaan untuk
mendengar, dan memberikan respon berupa jawaban atau alternatif solusi.
Misalnya saat bersama setelah menunaikan shalat berjama’ah, saat bersama
belajar, saat bersama makan malam, saat bersama liburan (rihlah), dan saat-saat
lain dalam interaksi keseharian, baik secara langsung maupun tidak langsung
dengan memanfaatkan sarana telekomunikasi berupa surat, telephone, email, dsb.
Al-qur’an dengan
indah menggambarkan bagaimana proses komunikasi itu berlangsung dalam keluarga
Ibrahim As sebagaimana dikisahkan dalam QS.As-Shaaffaat:102.
$¬Hs>sù x÷n=t/ çmyètB zÓ÷ë¡¡9$# tA$s% ¢Óo_ç6»tƒ þ’ÎoTÎ) 3“u‘r& ’Îû ÏQ$uZyJø9$# þ’ÎoTr& y7çtr2øŒr& öÝàR$$sù #sŒ$tB 2”ts? 4 tA$s% ÏMt/r'¯»tƒ ö@yèøù$# $tB ãtB÷sè? ( þ’ÎT߉ÉftFy™ bÎ) uä!$x© ª!$# z`ÏB tûïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÊÉËÈ
Artinya : Maka tatkala anak itu sampai
(pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai
anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah
apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk
orang-orang yang sabar".
Ibrah yang dapat diambil dalam kisah tersebut adalah adanya komunikasi yang
timbal balik antara orang tua-anak, Ibrahim mengutarakan dengan bahasa dialog
yaitu meminta pendapat pada Ismail bukan menetapkan keputusan, adanya keyakinan
kuat atas kekuasaan Allah, adanya sikap tunduk/patuh atas perintah Allah, dan
adanya sikap pasrah dan tawakkal kepada Allah; sehingga perintah yang berat dan
tidak logis tersebut dapat terlaksana dengan kehendak Allah yang menggantikan
Ismail dengan seekor kibas yang sehat dan besar.
5. Sabar dan
Syukur
Allah SWT
mengingatkan kita dalam Alqur’an surat At Taghabun ayat 14:
$pkš‰r'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä žcÎ) ô`ÏB öNä3Å_ºurø—r& öNà2ω»s9÷rr&ur #xr߉tã öNà6©9 öNèdrâ‘x‹÷n$$sù 4 bÎ)ur (#qàÿ÷ès? (#qßsxÿóÁs?ur (#rãÏÿøós?ur cÎ*sù ©!$# Ö‘qàÿxî íO‹Ïm§‘ ÇÊÍÈ
Artinya
: Hai orang-orang mukmin, Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu[1479] Maka berhati-hatilah kamu
terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni
(mereka) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Peringatan Allah tersebut nyata dalam kehidupan rumah tangga dimana sikap
dan tindak tanduk suami/istri dan anak-anak kadangkala menunjukkan sikap
seperti seorang musuh, misalnya dalam bentuk menghalangi-halangi langkah dakwah
walaupun tidak secara langsung, tuntutan uang belanja yang nilainya di luar
kemampuan, menuntut perhatian dan waktu yang lebih, prasangka buruk terhadap
suami/isteri, tidak merasa puas dengan pelayanan/nafkah yang diberikan isteri/suami,
anak-anak yang aktif dan senang membuat keributan, permintaan anak yang
berlebihan, pendidikan dan pergaulan anak, dan sebagainya. Jika hal-hal
tersebut tidak dihadapi dengan kesabaran dan keteguhan hati, bukan tidak
mungkin akan membawa pada jurang kehancuran rumah tangga.
Dengan kesadaran awal bahwa isteri dan anak-anak dapat berpeluang menjadi
musuh, maka sepatutnya kita berbekal diri dengan kesabaran. Merupakan bagian
dari kesabaran adalah keridhaan kita menerima kelemahan/kekurangan pasangan
suami/isteri yang memang diluar kesang-gupannya. Penerimaan terhadap
suami/isteri harus penuh sebagai satu “paket”, dia dengan segala hal yang
melekat pada dirinya, adalah dia yang harus kita terima secara utuh, begitupun
penerimaan kita kepada anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya.
Ibaratnya kesabaran dalam kehidupan rumah tangga merupakan hal yang fundamental
(asasi) untuk mencapai keberkahan, sebagaimana ungkapan bijak
berikut:“Pernikahan adalah Fakultas Kesabaran dari Universitas Kehidupan”.
Mereka yang lulus dari Fakultas Kesabaran akan meraih banyak keberkahan.
Syukur juga merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan
berumah tangga. Rasulullah mensinyalir bahwa banyak di antara penghuni neraka
adalah kaum wanita, disebabkan mereka tidak bersyukur kepada suaminya.
Mensyukuri rezeki yang diberikan Allah lewat jerih payah suami seberapapun
besarnya dan bersyukur atas keadaan suami tanpa perlu membanding-bandingkan
dengan suami orang lain, adalah modal mahal dalam meraih keberkahan; begitupun
syukur terhadap keberadaan anak-anak dengan segala potensi dan
kecenderungannya, adalah modal masa depan yang harus dipersiapkan.
Dalam keluarga harus dihidupkan semangat “memberi” kebaikan, bukan semangat
“menuntut” kebaikan, sehingga akan terjadi surplus kebaikan. Inilah wujud
tambahnya kenikmatan dari Allah, sebagaimana firmannya: Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari
(nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih
(QS. Ibrahim:7).
øŒÎ)ur šc©Œr's? öNä3š/u‘ ûÈõs9 óOè?öx6x© öNä3¯Ry‰ƒÎ—V{ ( ûÈõs9ur ÷LänöxÿŸ2 ¨bÎ) ’Î1#x‹tã Ó‰ƒÏ‰t±s9 ÇÐÈ
Artinya
: dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika
kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".
Mensyukuri kehadiran keturunan sebagai karunia Allah, harus diwujudkan
dalam bentuk mendidik mereka dengan pendidikan Rabbani sehingga menjadi
keturunan yang menyejukkan hati. Keturunan yang mampu mengemban misi risalah
dien ini untuk masa mendatang, maka jangan pernah bosan untuk selalu
memanjatkan do’a:
Ya Rabb, karuniakanlah kami
isteri dan keturunan yang sedap dipandang mata, dan jadikanlah kami pemimpin
orang yang bertaqwa.
Ya Rabb, karuniakanlah kami anak-anak yang
sholeh.
Ya Rabb, karuniakanlah kami dari sisi Engkau
keturunan yang baik.
Ya Rabb, karuniakanlah kami dari sisi Engkau
keturunan yang Engkau Ridha-i.
Ya Rabb, jadikanlah kami dan keturunan kami
orang yang mendirikan shalat.
Do’a diatas adalah ungkapan harapan para Nabi dan Rasul tentang sifat-sifat
(muwashshofat) ketuturunan (dzurriyaat) yang diinginkan, sebagaimana diabadikan
Allah dalam Alqur’an diantaranya
(QS. Al-Furqon:74)
tûïÏ%©!$#ur šcqä9qà)tƒ $oY/u‘ ó=yd $oYs9 ô`ÏB $uZÅ_ºurø—r& $oYÏG»ƒÍh‘èŒur no§è% &úãüôãr& $oYù=yèô_$#ur šúüÉ)FßJù=Ï9 $·B$tBÎ)
Artinya
: dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami
isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan
Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.
( QS.
Ash-Shaafaat:100 )
Éb>u‘ ó=yd ’Í< z`ÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$# ÇÊÉÉÈ
Artinya :Ya Tuhanku, anugrahkanlah
kepadaku (seorang anak) yang Termasuk orang-orang yang saleh.
( QS.Al-Imran:38 )
šÏ9$uZèd $tãyŠ $ƒÌŸ2y— ¼çm/u‘ ( tA$s% Éb>u‘ ó=yd ’Í< `ÏB šRà$©! ZpƒÍh‘èŒ ºpt7Íh‹sÛ ( š¨RÎ) ßì‹Ïÿxœ Ïä!$tã‘$!$# ÇÌÑÈ
Artinya
:di sanalah Zakariya mendoa kepada Tuhannya seraya berkata: "Ya Tuhanku,
berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar
doa".
(QS. Maryam: 5-6 )
’ÎoTÎ)ur àMøÿÅz u’Í<ºuqyJø9$# `ÏB “Ïä!#u‘ur ÏMtR$Ÿ2ur ’ÎAr&tøB$# #\Ï%%tæ ó=ygsù ’Í< `ÏB šRà$©! $wŠÏ9ur ÇÎÈ ÓÍ_èOÌtƒ ß^Ìtƒur ô`ÏB ÉA#uä z>qà)÷ètƒ ( ã&ù#yèô_$#ur Éb>u‘ $|‹ÅÊu‘ ÇÏÈ
Artinya
: dan Sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku[898] sepeninggalku, sedang
isteriku adalah seorang yang mandul, Maka anugerahilah aku dari sisi Engkau
seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub;
dan Jadikanlah ia, Ya Tuhanku, seorang yang diridhai".
Yang dimaksud oleh Zakaria dengan mawali ialah orang-orang
yang akan mengendalikan dan melanjutkan urusannya sepeninggalnya.Yang
dikhawatirkan Zakaria ialah kalau mereka tidak dapat melaksanakan urusan itu
dengan baik, karena tidak seorangpun diantara mereka yang dapat dipercayainva,
oleh sebab itu Dia meminta dianugerahi seorang anak.
( QS.
Ibrahim:40).
Éb>u‘ ÓÍ_ù=yèô_$# zOŠÉ)ãB Ío4qn=¢Á9$# `ÏBur ÓÉLƒÍh‘èŒ 4 $oY/u‘ ö@¬6s)s?ur Ïä!$tãߊ ÇÍÉÈ
Artinya :Ya Tuhanku, Jadikanlah aku dan
anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan Kami,
perkenankanlah doaku.
Pada intinya keturunan yang diharapkan adalah keturunan yang sedap
dipandang mata (Qurrota a’yun), yaitu keturunan yang memiliki sifat penciptaan
jasad yang sempurna (thoyyiba), ruhaniyah yang baik (sholih), diridhai Allah
karena misi risalah dien yang diperjuangkannya (wali radhi), dan senantiasa
dekat dan bersama Allah (muqiimash-sholat).
Demikianlah hendaknya harapan kita terhadap anak, agar mereka memiliki
muwashofaat tersebut, disamping upaya (ikhtiar) kita memilihkan guru/sekolah
yang baik, lingkungan yang sehat, makanan yang halal dan baik (thoyyib),
fasilitas yang memadai, keteladanan dalam keseharian, dsb; hendaknya kita
selalu memanjatkan do’a tersebut.
6. Sikap yang
santun dan bijak (Mu’asyarah bil Ma’ruf)
Merawat cinta kasih dalam keluarga ibaratnya seperti merawat tanaman, maka
pernikahan dan cinta kasih harus juga dirawat agar tumbuh subur dan indah,
diantaranya dengan mu’asyarah bil ma’ruf. Rasulullah saw menyatakan bahwa :
“Sebaik-baik orang diantara kamu adalah orang yang paling baik terhadap
isterinya, dan aku (Rasulullah) adalah orang yang paling baik terhadap
isteriku.” (HR.Thabrani & Tirmidzi)
Sikap yang santun dan bijak dari seluruh anggota keluarga dalam interaksi
kehidupan berumah tangga akan menciptakan suasana yang nyaman dan indah.
Suasana yang demikian sangat penting untuk perkembangan kejiwaan (maknawiyah)
anak-anak dan pengkondisian suasana untuk betah tinggal di rumah.
Ungkapan yang menyatakan “Baiti Jannati” (Rumahku Syurgaku) bukan semata
dapat diwujudkan dengan lengkapnya fasilitas dan luasnya rumah tinggal, akan
tetapi lebih disebabkan oleh suasana interaktif antara suami-isteri dan orang
tua-anak yang penuh santun dan bijaksana, sehingga tercipta kondisi yang penuh
keakraban, kedamain, dan cinta kasih.
Sikap yang santun dan bijak merupakan cermin dari kondisi ruhiyah yang
mapan. Ketika kondisi ruhiyah seseorang labil maka kecenderungannya ia akan
bersikap emosional dan marah-marah, sebab syetan akan sangat mudah
mempengaruhinya. Oleh karena itu Rasulullah saw mengingatkan secara
berulang-ulang agar jangan marah (Laa tagdlob). Bila muncul amarah karena
sebab-sebab pribadi, segeralah menahan diri dengan beristigfar dan mohon
perlindungan Allah (ta’awudz billah), bila masih merasa marah hendaknya
berwudlu dan mendirikan shalat. Namun bila muncul marah karena sebab orang
lain, berusahalah tetap menahan diri dan berilah ma’af, karena Allah menyukai
orang yang suka mema’afkan. Ingatlah, bila karena sesuatu hal kita telanjur
marah kepada anak/isteri/suami, segeralah minta ma’af dan berbuat baiklah
sehingga kesan (atsar) buruk dari marah bisa hilang. Sesungguhnya dampak dari
kemarahan sangat tidak baik bagi jiwa, baik orang yang marah maupun bagi orang yang
dimarahi.
7. Kuatnya
hubungan dengan Allah (Quwwatu shilah billah)
Hubungan yang
kuat dengan Allah dapat menghasilkan keteguhan hati (kemapanan ruhiyah), sebagaimana
Allah tegaskan dalam QS. Ar-Ra’du:28.
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ’ûÈõuKôÜs?ur Oßgç/qè=è% Ìø.É‹Î/ «!$# 3 Ÿwr& Ìò2É‹Î/ «!$# ’ûÈõyJôÜs? Ü>qè=à)ø9$# ÇËÑÈ
Artinya : (yaitu) orang-orang yang
beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah,
hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
“Ketahuilah
dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tenang”. Keberhasilan dalam meniti
kehidupan rumah tangga sangat dipengaruhi oleh keteguhan hati/ketenangan jiwa,
yang bergantung hanya kepada Allah saja (ta’alluq billah). Tanpa adanya
kedekatan hubungan dengan Allah, mustahil seseorang dapat mewujudkan
tuntutan-tuntutan besar dalam kehidupan rumah tangga. Rasulullah saw sendiri
selalu memanjatkan do’a agar mendapatkan keteguhan hati: “Yaa muqollibal quluub
tsabbit qolbiy ‘alaa diinika wa’ala thoo’atika” (wahai yang membolak-balikkan
hati, teguhkanlah hatiku untuk tetap konsisten dalam dien-Mu dan dalam
menta’ati-Mu).
Keteguhan hati dapat diwujudkan dengan pendekatan diri kepada Allah
(taqarrub ila Allah), sehingga ia merasakan kebersamaan Allah dalam segala
aktifitasnya (ma’iyatullah) dan selalu merasa diawasi Allah dalam segenap
tindakannya (muraqobatullah). Perasaan tersebut harus dilatih dan ditumbuhkan
dalam lingkungan keluarga, melalui pembiasaan keluarga untuk melaksanakan
ibadah nafilah secara bertahap dan dimutaba’ah bersama, seperti : tilawah,
shalat tahajjud, shaum, infaq, do’a, ma’tsurat, dll. Pembiasaan dalam aktifitas
tersebut dapat menjadi sarana menjalin keakraban dan persaudaraan (ukhuwah)
seluruh anggota keluarga, dan yang penting dapat menjadi sarana mencapai taqwa
dimana Allah swt menjamin orang-orang yang bertaqwa, sebagaimana firman-Nya
dalam QS. Ath-Thalaaq: 2-3.
#sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& £`èdqä3Å¡øBr'sù >$rã÷èyJÎ/ ÷rr& £`èdqè%Í‘$sù 7$rã÷èyJÎ/ (#r߉Íkôr&ur ô“ursŒ 5Aô‰tã óOä3ZÏiB (#qßJŠÏ%r&ur noy‰»yg¤±9$# ¬! 4 öNà6Ï9ºsŒ àátãqム¾ÏmÎ/ `tB tb%x. ÚÆÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ÌÅzFy$# 4 `tBur È,Gtƒ ©!$# @yèøgs† ¼ã&©! %[`tøƒxC ÇËÈ çmø%ã—ötƒur ô`ÏB ß]ø‹ym Ÿw Ü=Å¡tFøts† 4 `tBur ö@©.uqtGtƒ ’n?tã «!$# uqßgsù ÿ¼çmç7ó¡ym 4 ¨bÎ) ©!$# à÷Î=»t/ ¾ÍnÌøBr& 4 ô‰s% Ÿ@yèy_ ª!$# Èe@ä3Ï9 &äóÓx« #Y‘ô‰s% ÇÌÈ
Artinya
:apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan
baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena
Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah
dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan
baginya jalan keluar.
Artinya:
dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa
yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya
Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.
“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagi-nya
jalan keluar (solusi) dan memberinya rezeki dari arah yang tidak
disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah
akan mencukupi (keperluan) nya.”
Wujud indahnya
keberkahan keluarga
Keberkahan dari Allah akan muncul dalam bentuk kebahagiaan hidup berumah
tangga, baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Kebahagiaan di dunia,
boleh jadi tidak selalu identik dengan kehidupan yang mewah dengan rumah dan perabotan
yang serba lux. Hati yang selalu tenang (muthma’innah), fikiran dan perasaan
yang selalu nyaman adalah bentuk kebahagiaan yang tidak bisa digantikan dengan
materi/kemewahan.
Kebahagiaan hati akan semakin lengkap jika memang bisa kita sempurnakan dengan
4 (empat) hal seperti dinyatakan oleh Rasulullah, yaitu : (1) Isteri yang
sholihah, (2) Rumah yang luas, (3) Kendaraan yang nyaman, dan (4) Tetangga yang
baik.
Kita bisa saja memanfaatkan fasilitas rumah yang luas dan kendaraan yang
nyaman tanpa harus memiliki, misalnya di saat-saat rihlah, safar, silaturahmi,
atau menempati rumah dan kendaraan dinas. Paling tidak keterbatasan ekonomi
yang ada tidak sampai mengurangi kebahagiaan yang dirasakan, karena pemilik
hakiki adalah Allah swt yang telah menyediakan syurga dengan segala kenikmatan
yang tak terbatas bagi hamba-hamba-Nya yang bertaqwa, dan menjadikan segala apa
yang ada di dunia ini sebagai cobaan.
Kebahagiaan yang lebih penting adalah kebahagiaan hidup di akhirat, dalam
wujud dijauhkannya kita dari api neraka dan dimasukkannya kita dalam syurga.
Itulah hakikat sukses hidup di dunia ini, sebagaimana firman-Nya dalam QS.
Al-Imran : 185
‘@ä. <§øÿtR èps)ͬ!#sŒ ÏNöqpRùQ$# 3 $yJ¯RÎ)ur šcöq©ùuqè? öNà2u‘qã_é& tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# ( `yJsù yyÌ“ômã— Ç`tã Í‘$¨Y9$# Ÿ@Åz÷Šé&ur sp¨Yyfø9$# ô‰s)sù y—$sù 3 $tBur äo4quŠyÛø9$# !$u‹÷R‘$!$# žwÎ) ßì»tFtB Í‘rãäóø9$# ÇÊÑÎÈ
Artinya
: tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat
sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan
dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia
itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.
Selanjutnya alangkah indahnya ketika Allah kemudian memanggil dan
memerintahkan kita bersama-sama isteri/suami dan anak-anak untuk masuk kedalam
syurga; sebagaimana dikhabarkan Allah dengan firman-Nya:
(QS, Az-Zukhruf:70)
(#qè=äz÷Š$# sp¨Yyfø9$# óOçFRr& ö/ä3ã_ºurø—r&ur šcrçŽy9øtéB ÇÐÉÈ
Artinya :masuklah kamu ke dalam surga,
kamu dan isteri-isteri kamu digembirakan".
(QS. Ath-Thuur:21).
tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä öNåk÷Jyèt7¨?$#ur NåkçJƒÍh‘èŒ ?`»yJƒÎ*Î/ $uZø)ptø:r& öNÍkÍ5 öNåktJƒÍh‘èŒ !$tBur Nßg»oY÷Gs9r& ô`ÏiB OÎgÎ=uHxå `ÏiB &äóÓx« 4
‘@ä. ¤›ÍöD$# $oÿÏ3 |=|¡x. ×ûüÏdu‘ ÇËÊÈ
Artinya : dan orang-oranng yang beriman,
dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak
cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala
amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.
Daftar Rujukan
Achmad Sunarto, Terjemah
Hadits Sholeh Muslim ( Bandung : Husairi 2002 )
Aida Al-Qarri, Menjadi
Wanita Paling Bahagia ( Jakarta:
Qisthi Press, 2005 )
Departemen Agama RI, Al- Qur’an Terjemah Per-Kata ( Jakarta: SYGMA, 2008 )
Mahjuddin, Masail
Al-Fiqh ( Jakarta: Kalam Mulia, 2012 )
Muhammad Ali, Fiqih
Nikah ( STAIN Jurai Siwo Metro, 2012 )
Labib MZ & Aqis Bil Qisrhi, Risalah Fiqih Wanita ( Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2005 )
Sahhid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: Al Ma’arif, 1978 )
0 komentar:
Posting Komentar